Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Setelah Karaoke Inul Terbakar

27 Oktober 2015   08:32 Diperbarui: 27 Oktober 2015   20:10 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Warga mengerumungi jenazah para korban yang tewas dalam insiden Inul Vizta di Instalasi Pemulasaran Rumah Sakit Prof Kandou Malalayang, Manado, Minggu (25/10/2015). Sebanyak 12 orang tewas dalam insiden kebakaran di tempat karaoke Inul Vizta. (KOMPAS.com / RONNY ADOLOF BUOL)

Khas Indonesia banget. Ibarat pepatah Minang "lah abih cakak takana silek", yang terjemahan bebasnya "sehabis berkelahi baru ingat jurus silat". Itu yang ada di benak saya saat pagi ini menonton berita di Kompas TV. Berita yang saya maksud terkait inspeksi aparat ke berbagai tempat karaoke setelah Karaoke Inul di Manado terbakar dan mengakibatkan sejumlah korban meninggal dunia.

Saya yakin dari sisi kebijakan dan prosedur, kita sudah hebat. Pasti ada di aturan mainnya persyaratan pendirian sebuah tempat hiburan karaoke. Pasti ada juga aturan bahwa secara periodik harus diinspeksi antara lain apakah punya tabung pemadam kebakaran, adanya jalur evakuasi dalam keadaan darurat, dan sebagainya. Masalahnya kalau gak ada apa-apa, inspeksi tidak jalan ataupun kalaupun ada, bisa diselesaikan secara kekeluargaan tanpa perlu dicek beneran.

Bisnis karaoke berkembang subur saat ini setelah artis top ikut berbisnis. Di samping Inul, yang juga berkibar adalah karaoke milik penyanyi Rossa dan Ahmad Dani. Awalnya bisnis ini muncul di Jepang karena para karyawan sehabis ngantor perlu hiburan seperti bernyanyi dan baru ke rumah setelah malam. 

Begitu karaoke masuk negara kita, saya mengira ini bisnis musiman yang bakal segera lenyap. Karena logika saya, sehabis ngantor, orang kita ingin buru-buru ke rumah. Meski saya menyadari di beberapa tempat, menyanyi sudah semacam budaya seperti di Manado, Ambon, dan Medan. Lagi pula saya merasa citra karaoke terlanjur negatif seperti panti pijat, karena menyediakan kamar eksklusif yang memberi peluang penyewanya berbuat asusila.

Tapi pengelola bisnis karaoke sekarang mampu berkembang dengan branding yang kuat sebagai "karaoke keluarga" seperti juga ada panti pijat dengan label bersih, sehat, halal, dan sebagainya. Jadi, saya harus merevisi prediksi saya, bisnis karaoke lumayan prospektif.

Hanya saja, mbok ya, faktor keamanan pengunjung harus menjadi hal yang tidak dapat ditawar-tawar. Jangan hanya setelah ada kejadian semua kasak-kusuk melengkapi peralatannya, setelah itu lupa lagi. Seperti kapal rakyat yang harus menyediakan pelampung setelah ada kejadian kapal karam. Begitu sekian lama gak ada yang karam lagi, pelampungnya juga lenyap entah ke mana.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun