Judul di atas persis saya caplok dari rubrik "Arsip" di Kompas hari ini. Ditulis Kompas bahwa pada tanggal 1 April 1969, perjalanan bangsa memasuki tonggak sejarah baru, yakni peningkatan dari tahap perjuangan Orde Baru menjadi tahap pelaksanan pembangunan, dengan dimulainya tahun pertama dari Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Saya teringat bahwa saat saya SD sampai sekolah menengah di dekade 1970-an sampai 80-an, Repelita atau Pelita menjadi jargon pembangunan, yang rata-rata dihafal anak sekolah di luar kepala, karena seringnya muncul dalam ujian sekolah. Lagi pula, barangkali di koran dan juga di satu-satunya siaran televisi yang tersedia saat itu, TVRI, kata-kata Pelita selalu muncul setiap hari.
Pelita yang tahapannya lima tahunan menjadi suatu hal yang berkesinambungan dari Repelita I sampai Repelita V dengan kurun waktu 25 tahun yang terangkum dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang disahkan oleh Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan dilaksanakan oleh Presiden sebagai manadataris MPR beserta jajarannya.
Pelaksanaan dari rencana jangka panjang tersebut relatif sukses karena Presidennya tidak berganti. Kalau akhirnya Pak Harto sebagai Prsiden menerima gelar "Bapak Pembangunan" dapat dimaklumi. Apapun yang menghalangi, termasuk dalam pembebasan tanah, atau adanya kritik keras dari berbagai elemen masyarakat, dapat diatasi dengan dalih pembangunan.
Apalagi dalam pembangunan dikenal adanya trilogi pembangunan sebagai landasan kebijakan, yakni terciptanya stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan pemerataan hasil pembangunan. Urut-urutan trilogi bisa berubah-ubah sesuai prioritas di setiap Pelita. Awalnya yang menjadi urutan pertama adalah stabilitas, lalu pada tahap setelah itu pertumbuhan yang menjadi paling atas, dan dalam Pelita berikutnya lagi, gantian pemerataan yang menjadi nomor urut satu.
Nah, stabilitas di atas itu bisa ditafsirkan bahwa media masa harus tahu diri untuk tidak melakukan berita atau opini yang bertentangan dengan pemerintah. Ada banyak koran dan majalah dibreidel alias dilarang terbit gara-gara dinilai penguasa kebablasan dalam menyampaikan kritik. Perlu dipahami bahwa yang namanya stabilitas tersebut mencakup semua aspek yang disebut dengan ipoleksosbudhankam, yakni dibidang (i)deologi Panca Sila, (pol)itik yang terkendali, (ek)onomi, (sos)ial, (bud)aya, perta(han)an dan (k)e(am)anan. Memang akronim ipoleksosbudhankam mengikuti kelaziman di lingkungan TNI, kurang sejalan dengan panduan berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Sektor pertanian adalah prioritas utama dalam Repelita. Dari Pelita I sampai Pelita V, saat Indonesia dianggap sudah layak untuk lepas landas dengan membangun industri yang hi-tech, sektor pertanian tetap tidak ditinggalkan. Tidak heran kalau swa sembada pangan telah dicapai di tahun 1985, dimana saat itu Indonesia mendapatkan penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan Dunia), yang diterima Presiden Soeharto.
Yah, beda era tentu beda jargon pembangunan. Sekarang mah eranya "Revolusi Mental", atau eranya empat pilar. Ada juga sih keinginan untuk menerbitkan kembali GBHN agar setiap RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang hanya empat tahunan, untuk saat ini yang berlaku adalah RPJM 2015-2019) bisa saling bersambung, terlepas dari siapapun nanti yang memimpin negara kita.
Kebetulan hari ini adalah tanggal 1 April, saat yang tepat mengenang pencanangan Repelita. Apa yang baik di masa lalu tidak ada salahnya dipakai lagi, tentu dengan beberapa perubahan sesuai kondisi terkini. Memang sudah ada yang namanya RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) 2005-2025, tapi "kesaktiannya" kalah ketimbang GBHN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H