Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Putra Daerah, Potret Ketimpangan Kualitas SDM Kita

8 Januari 2014   16:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:01 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu Putra Daerah, rasanya telah banyak di kupas berbagai media. Bagus juga, sejak reformasi, semua kepala daerah pada umumnya pasti putra daerah setempat, terlepas dari apakah ia besar di daerah itu, atau sekadar punya silsilah dari etnis mayoritas di daerah tersebut. Setahu saya, hanya 2 orang gubernur yang bisa diperdebatkan sebagai bukan putra daerah, tapi legitimasinya sangat kuat karena dipilih oleh masyarakat. Pertama, Gatot Pujo Nugroho, gubernur Sumut. Etnis Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera) yang disandangnya rupanya cukup dominan di Sumut, sebanding dengan etnis Melayu Deli, Tapanuli, Minang, Aceh, dan Tionghoa. Kedua, siapa lagi kalau bukan gubernur terpopuler, Jokowi di DKI. Tapi rasanya etnis Jawa memang mayoritas di ibukota, menyingkirkan etnis Betawi yang lebih berhak disebut sebagai putra daerah.

Masalahnya jadi lain, seperti bagi sektor korporat, khususnya perusahaan-perusahaan besar, baik BUMN maupun swasta yang lingkup usaha nya tersebar di seluruh provinsi. Untuk memilih siapa yang akan dijadikan kepala wilayah atau kepala cabang perusahaan tersebut di Aceh, Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Kalimantan, ternyata bukan perkara gampang. Karena kelangkaan kader pemimpin yang berasal dari daerah-daerah tersebut. Tidak heran kalau akhirnya jabatan tersebut jatuh kepada yang bukan putra daerah.

Di banyak perusahaan, pekerjanya terbagi dalam kelompok pelaksana, dan kelompok staf. Kelompok pelaksana bisa dikatakan merupakan hasil rekrutmen lokal, namun jenjang karirnya akan mentok sampai level kepala seksi. Beberapa yang pintar memang bisa saja lolos dalam seleksi untuk program pengkaderan pejabat. Kemudian kelompok staf, yang merupakan rekrutmen kantor pusat, dan akan dijadikan sebagai kader pejabat, sehingga jalur karirnya jelas, dan dengan cepat mengalami mutasi ke berbagai daerah atau divisi di kantor pusat. sebelumnya akhirnya menjadi pejabat, katakanlah sebagai pemimpin wilayah yang berkedudukan di ibukota provinsi dan membawahi cabang-cabang yang tersebar di kota kabupaten.

Masalahnya, setiap kantor pusat melakukan seleksi, meskipun pelamar dari berbagi daerah relatif banyak, yang akhirnya berhasil lulus dalam suatu persaingan yang amat ketat, misal dari 10.000 pelamar hanya diterima 100 orang ( 1 banding 100 ), maka profil yang merupakan putra daerah yang tadi disebutkan di atas, kalaupun ada sangat sedikit, itu pun biasanya putra daerah yang kuliah di pulau Jawa. Hasil pengamatan sekilas, setelah dominasi etnis Jawa (kalo ini sebagai mayoritas, wajar saja), diikuti oleh Sunda, sebahagian kecil Minang, Batak, Bugis, dan Bali, serta sangat kecil (kadang-kadang ada, kadang-kadang tidak ada dalam setiap angkatan rekrutmen) seperti Melayu Palembang/Lampung, Banjar, Minahasa, Betawi, Melayu Deli, Melayu Riau, dan Aceh. Etnis lainnya, nyaris tidak terdengar (tapi bukannya tidak ada).

Padahal, kalau ada berbagai suku yang berhasil lulus, akan mendapat prioritas untuk nantinya menempati pimpinan di daerahnya, karena diyakini mereka lebih memahami potensi wilayahnya, dan mampu menjalin hubungan baik dengan gubernur dan pemda setempat. Ini barangkali tidak hanya problem korporasi, tapi juga institusi pemerintah yang menjalankan manajemen terpusat/sentralisasi. Jangan heran kalau yang hadir dalam rapat koordinasi antara gubernur dengan Kapolda, Pangdam, Kajati, Kepala Bank Indonesia, Kepala perwakilan BUMN seperti Pertamina, Bulog, dsb, rata-rata bukan putra daerah (di luar gubernur, tentunya).

Kondisi di atas, memang tidak sepenuhnya jelek, karena dalam bingkai persatuan nasional dapat dinilai positif. Bahkan idealnya, terjadi saling bertukar etnis. Misal, pejabat di Sulawesi berasal dari Sumatera, sedangkan yang berasal dari Sulawesi ditempatkan di Kalimantan, dan seterusnya. Tentu, hal ini bisa terjadi kalau semua putra daerah lolos dalam berbagai seleksi yang dilakuklan oleh banyak instansi/perusahaan yang berskala nasional.

Gambaran tersebut bisa merupakan potret dari ketimpangan kualitas sumber daya manusia antar daerah. Apanya yang salah? Pasti bukan genetiknya, karena beberapa anak papua yang dididik di Surya Institut telah banyak yang memenangi olimpiade fisika, matematika, dan sebagainya. Kayaknya ada yang keliru dalam manajemen pendidikan kita. Dari mana harus kita mulai? Sementara belum ketemu jawabannya yang paling tepat (tidak sekadar trial and error), yang paling gampang dilakukan adalah, bagi kita yang berasal dari etnis mayoritas, haruslah memahami dan menghormati penduduk lokal dimana kita ditempatkan beserta nilai-nilai yang dianutnya. Sedangkan bagi kita yang bukan dari etnis mayoritas tetap berjuang untuk mengembangkan diri.

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun