Diberlalukannya aturan bahwa setiap pertandingan di babak penyisihan Piala Sudirnan harus ada pemenangnya, menarik untuk dikaji. Jika dalam waktu normal skornya imbang, tanpa perpanjangan waktu langsung dilakukan adu pinalti.
Sistem di atas lazimnya diberlakukan di babak semi final dan final, itupun adu pinalti dilangsungkan setelah perpanjangan waktu 2 kali 15 menit skor masih seri. Seperti di turnamen Piala Presiden, sistem ini dipakai sejak babak 8 besar.
Demikianlah, akhirnya sistem di atas telah memakan korban, dilihat dari sisi klub yang kalah, atau sebaliknya membawa keberuntungan bagi klub yang menang. Dari 3 pool, pool yang di Gianyar, Bali, telah memainkan tiga pertandingan, dan ketiga-tiganya berakhir dengan drama adu pinalti. Adapun di pool Sidoarjo dan pool Malang, ampai saat ini belum lagi terjadi adu pinalti.
Memang, dalam salah satu tulisan sebelumnya, saya menilai pool Bali adalah "grup neraka" dimana ke 5 klub yang bergabung punya kekuatan relatif seimbang, yakni Bali United, Persipura, Semen Padang, PSM, dan Mitra Kukar. PSM menang atas Mitra Kukar, Bali United menang atas Persipura, dan baru saja tadi malam Persipura menang atas Semen Padang, semuanya dari kemenangan mental saat adu pinalti. Konon, dalam adu pinalti, kuncinya adalah ketenangan mental. Tidak terlalu percaya diri, tapi juga tidak gugup.
Bayangkan, sekadar berandai-andai, bila semua pertandingan berakhir seri 1-1, dan tidak ada adu pinalti, pasti bingung juga menentukan klub mana yang berhak melaju. Mungkin melalui undian. Untuk menghindari hal itulah barangkali yang memunculkan ide brilian dari pihak panitia untuk menerapkan sistem di atas. Tapi kalau boleh berharap, saya berharap di pertandingan berikutnya di pool Bali akan memunculkan klub pemenang tanpa adu pinalti.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H