"Dear all. Sehubungan dengan padatnya aktivitas saya, maka saya terpaksa harus membatasi kegiatan berinteraksi melalui media sosial. Untuk itu sudah saya putuskan bahwa tanggal 31 Desember 2015 adalah hari terakhir saya di grup ini. Dan saya baru akan aktif kembali di tahun depan pada tanggal 1 Januari 2016. Semoga hal ini tidak mengganggu komunikasi kita semua."
Itulah postingan seorang teman di sebuah grup media sosial yang saya ikuti. Tentu pengumuman tadi hanya candaan belaka, karena tidak ada yang berubah dari aktivitas si teman, tetap akan bermedsos-ria. Memang jumlah orang yang kecanduan medsos melonjak tajam. Saat rapat di kantor, saat makan bersama, saat menunggu sesuatu, lazim sekali menemukan orang yang asyik dengan medsos.
Tapi, kalau dihitung-hitung di grup medsos yang saya ikuti, ada beberapa teman telah left group atau keluar dari grup. Bagi yang merasa tidak mendapat nilai tambah, di lain pihak kesibukan lainnya harus mendapat prioritas, maka keikutsertaan di suatu grup medsos bisa saja dianggap gangguan. Dalam hal ini keluar dari grup menjadi pilihan yang realistis meski berpotensi dianggap  sombong.
Dari beberapa pengamatan sederhana yang saya lakukan, begitu di sebuah grup banyak anggota yang menghujat suatu kelompok masyarakat yang berbau SARA, lalu ada minoritas yang melakukan kontra argumen, yang langsung di-bully kelompok mayoritas, maka akan diikuti oleh beberapa orang keluar dari grup.
Contoh lain, begitu ada beberapa anggota yang gemar mengirim gambar atau komentar yang dinilai porno, juga berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan bagi sebagian anggota dan akhirnya left group. Demikian pula bila ada beberapa anggota yang sangat intens mempromosikan barang  atau jasa yang menjadi profesinya, membuat malas anggota lain untuk aktif.
Ada pula yang keluar grup karena ngambek. Bisa karena setiap postingan yang ia kirim dianggap sepi tidak ada yang menanggapi, atau ditanggapi secara negatif. Â Grup yang terlalu sepi atau yang terlalu aktif dengan obrolan ecek-ecek juga berpotensi ditinggalkan anggotanya.
Akhirnya grup seperti WhatsApp atau BBM sama seperti sebuah organisasi. Harus ada semacam yang dituakan, bukan sekedar admin, yang bisa memimpin suatu diskusi dan merumuskan kode etik serta memantau pelaksanaannya.
Untuk medsos yang bersifat pertemanan antar individu ( bukan grup ), gejala di atas juga bisa terjadi, dengan melakukan unfriend atau memutus tali pertemanan. Alasannya lebih kurang mirip dengan left group di atas. Cuma ditambah lagi dengan alasan lain seperti teman dunia maya tersebut terindikasi melakukan upaya penipuan, seperti minta sumbangan, mengajukan proposal bisnis, dan sebagainya.
Persahabatan pada hakikatnya adalah kebutuhan yang mutlak, dan medsos adalah salah satu alat untuk memelihara pertemanan. Tapi begitu ada yang mencederai nilai pertemanan, tanpa bisa dikoreksi, maka nilai pertemanan akan sirna, sehingga memutuskan hubungan menjadi salah satu pilihan.
Hanya saja sebelum memutuskan hubungan, harap dipertimbangkan secara matang. Pikir-pikir apa reaksi anggota lain terhadap keputusan meninggalkan mereka. Harusnya kalau semua pihak bisa saling bertenggang-rasa, saling sabar, memahami perbendaan pendapat, mau saling mengingatkan untuk kebaikan, saling menolong, saling respek, berpikiran positif, maka keberadaan medsos, baik antar individu, maupun secara grup, sangatlah bermanfaat. Sayang kalau pertemanan yang telah terjalin, terputus karena gagal saling memahami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H