Saya kurang percaya bila ada pegawai yang telah puluhan tahun mengabdi di suatu instansi pemerintah atau perusahaan yang mapan, di hari-hari pertama ia pensiun, tidak merasa galau. Bahkan bagi seseorang yang telah punya tabungan yang memadai pun, perasaan yang tidak enak akan hinggap di awal pensiun.
Soalnya saya baru saja mengalami hal demikian. Bukan masalah turunnya pendapatan yang saya cemaskan, tapi lebih kepada beban psikologis saja. Ketika bangun pagi, saat semua anggota keluarga buru-buru mandi pagi karena istri saya siap-siap pergi bekerja dan anak pergi sekolah, saya malah merasa kosong. Itulah yang saya rasakan di suatu hari Senin pagi, bahkan sejak Minggu malamnya ketika mata sulit terpejam membayangkan mau ngapain besoknya.
Untung saja saya hanya galau selama dua atau tiga hari saja. Setelah itu saya merasa nyaman dengan agenda setiap hari yang telah saya susun. Jadi setelah anak istri keluar rumah, saya juga segera mandi dan berganti pakaian yang rapi. Meskipun setelah itu saya hanya ke luar rumah barang tiga atau empat jam saja.
Agenda saya ada yang sekadar menemui sahabat lama, ngobrol-ngobrol sambil makan siang. Bisa pula hanya ke toko buku, untuk membaca di tempat dan beberapa buku yang bagus atau sesuai selera, saya beli untuk dibaca di rumah. Bisa juga datang ke sebuah taman dengan baju kaos untuk mencari keringat dengan mengitari jogging trackdi taman tersebut.
Intinya harus punya kesibukan, termasuk melahap buku-buku yang dulu saya beli dan belum terbaca. Tentunya juga kesibukan menulis di Kompasiana ini. Memperbanyak ibadah dan melakukan pekerjaan yang bersifat sosial juga menjadi agenda saya.
Justru karena silaturahim dengan beberapa teman lama, Tuhan memberi saya jalan untuk memulai karir baru. Ada dua perguruan tinggi swasta yang saya jajal untuk menjadi staf pengajar. Saya kebagian sekali seminggu selama tiga jam di masing-masing kampus untuk satu mata kuliah yang dihitung sebanyak tiga SKS (Satuan Kredit Semester).
Di samping itu saya juga membantu mengawasi manajemen risiko dari sebuah perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, dengan jam kerja yang amat fleksibel, tidak harus datang ke kantor setiap hari kerja.
Untuk semua aktivitas itu, motif utama saya tidak lagi untuk mendapatkan uang, apalagi untuk dosen saya dapat honor yang relatif kecil. Motif saya, ya untuk itu tadi, punya kegiatan yang membuat otak saya tetap bekerja. Belajar, mencari data, menganalisis, mengkomunikasikannya dengan orang lain, menurut saya amat bermanfaat agar sel-sel otak tetap berfungsi sebagaimana mestinya.
Saya memang tidak tertarik untuk bekerja full timelagi seperti sebelumnya. Saya ingin lebih banyak waktu luang, termasuk untuk berkunjung ke luar kota, ke tempat-tempat yang menurut saya menarik. Lalu atas kunjungan tersebut saya tuliskan di Kompasiana berikut dengan beberapa fotonya.
Tentu saja setiap orang bebas menentukan pilihan dalam mengisi masa pensiunnya. Yang keliru adalah kalau tidak mau ngapa-ngapain, betul-betul menikmati "kemerdekaan" dengan makan, tidur, dan nonton televisi saja. Menurut saya, tidak melakukan apa-apa sama saja dengan mengundang datangnya penyakit lebih cepat.
Lagi pula meskipun uang pesangon cukup besar yang kalau didepositokan bisa hidup dari bunganya, tetap lama-lama akan tergerus karena inflasi atau menurunnya nilai uang. Meminta belas kasihan anak sendiri, bukan tindakan yang tepat.Â