Tadinya saya ingin ngebut membaca sebuah novel berlatar belakang sejarah perpolitikan di negeri kita, yang berjudul 'Amba' karya novelis wanita Laksmi Pamuntjak. Saya ingin menulis semacam ulasan ringkas, atau kalaupun bukan ulasan, ya semacam kesan-kesan di momen tanggal 30 September atau 1 Oktober.
Kenapa harus di tanggal tersebut? Karena novelnya menceritakan kisah seorang perempuan Jawa yang cantik bernama Amba pada periode sekitar terjadinya apa yang disebut oleh pemerintahan Orde Baru sebagai pemberontakan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G 30 S/PKI) di tahun 1965.
Namun apa daya, kemampuan saya melahap buku setebal 577 halaman, butuh lebih dari seminggu, karena hanya dilakukan di sela-sela kesibukan lain. Sebagai informasi, buku ini termasuk bestseller dan telah beberapa kali dicetak ulang oleh penerbitnya, PT Gramedia Pusaka Utama, Jakarta. Adapun cetakan pertamanya muncul di bulan September 2012, sehingga sangat mungkin banyak pembaca Kompasiana yang telah membaca bukunya.
Novel Amba sejatinya adalah kisah cinta, namun cinta yang tidak biasa. Ada tiga lelaki dalam kehidupan Amba yakni Salwa, Bhisma dan Adalhard. Semuanya terjadi selama kurun waktu 50 tahun, dari 1956 sampai 2006. Selama setengah abad tersebut tentu konstelasi politik Indonesia sudah berubah dari Orde Lama ke Orde Baru dan dari Orde Baru ke Era Reformasi.
Di antara ketiga lelaki tersebut, yang paling mencintai Amba adalah Salwa, tapi yang paling dicintai Amba adalah Bhisma. Sampai-sampai Amba punya seorang putri cantik yang dinamai Srikandi, buah cintanya dengan Bhisma. Namun lelaki yang hidup sebagai suami istri secara sah dengan Amba, justru Adalhard.
Bhisma, meski awalnya ingin merelakan Amba kembali kepada kekasihnya Salwa (yang telah direstui orang tua Amba), akhirnya total menginginkan Amba menjadi pendamping hidupnya. Jadi kalau diperas menjadi dua tokoh saja, maka novel ini tentang Amba, yang anak Kadipura, Jawa Tengah, yang kuliah di Yogyakarta dan Bhisma, dokter lulusan Leipzig, Jerman Timur, yang bekerja di rumah sakit di Kediri.
Ceritanya Bhisma membutuhkan penerjemah buku kesehatan berbahasa Inggris (bahasa asing yang dikuasainya hanya Jerman), sedangkan Amba mahasiswi Sastra Inggris yang kebetulan mengetahui lowongan kerja tersebut. Dan begitu saja, mereka bertemu, saling mengagumi, saling jatuh cinta dalam sebuah hubungan yang kebablasan.
Tapi pergaulan Bhisma dengan aktivis PKI atau organisasi lain yang dinilai penguasa se aliran, menyebabkan ia ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru, Maluku. Namun Amba sendiri setelah terpisah dari Bhisma saat ada suatu acara organisasi di Universitas Res Publica Yogyakarta dan ada serangan dari aparat sehingga mereka lari kocar kacir, tidak mengetahui lagi nasib Bhisma.
Amba yang galau tidak menemukan jejak Bhisma membuat langkah dramatis dengan mengirim surat perpisahan pada orang tua dan saudaranya, dan juga pada Salwa. Ia malu karena saat itu lagi hamil, dan menyadari kesalahan yang ia perbuat adalah tanggung jawab ia sendiri.
Langkah baik menyertai Amba, karena bertemu dengan dosen asal Amerika Serikat yang lagi dapat grant penelitian di Indonesia, Adalhard. Amba menceritakan semua kisahnya, dan Adalhard memberi solusi dengan menikahi Amba, mengakui darah daging Bhisma sebagai anaknya, dan membawa Amba tinggal di luar negeri sampai Adalhard menutup mata di tahun 2005.
Lalu Amba dan anaknya kembali ke Indonesia. Tiba-tiba saja ia menerima email dari seseorang yang tidak jelas, memberi tahu bahwa Bhisma ada di Pulau Buru. Inilah klimaks cerita, bagaimana liku-liku Amba mencari Bhisma yang akhirnya dengan susah payah berhasil menemui batu nisannya.