Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Pelaku UMKM Pada Umumnya Malas Mencatat

3 April 2014   17:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:08 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini lahir sebagai kelanjutan dari tulisan Dhita Arinanda di Kompasiana pagi ini yang berjudul "Pembukuan Keuangan Tetap Penting Bagi Usaha Kecil". Saya sepenuhnya setuju. Kenapa sampai hari masih banyak pelaku usaha yang tidak atau belum mendapat fasilitas kredit dari bank, salah satunya ya karena bank tidak bisa meyakini apa yang secara lisan diucapkan pelaku usaha, karena tanpa didukung bukti atau catatan tertulis. Dalam hal ini bank sering dianggap sebagai pihak yang "arogan" atau "pilih kasih" hanya melayani kelas menengah ke atas. Padahal, kalau nanti kredit tersebut menjadi macet, pihak bank lagi yang disalahkan. Jadi, bagi bank seperti "maju kena mundur kena".

Pada umumnya, jangankan melaksanakan pembukuan yang menghasilkan laporan neraca dan laporan laba rugi seperti yang dipelajari di bangku sekolahan, untuk melaksanakan catatan sederhana saja, sekedar uang masuk dan uang keluar setiap terjadi transaksi, sudah merupakan kesulitan bagi pelaku umkm. Hanya saja kesulitan itu tidak berkaitan dengan pengetahuan mereka, tapi dugaan saya lebih karena kemalasan. Tingkat rata-rata pendidikan di negara kita, sejak keberhasilan program wajib belajar, rasanya lumayan tinggi. Paling tidak, rata-rata para pelaku UMKM pernah mengenyam pendidikan setingkat SMA. Harusnya mereka bisa mencatat.

Ngomong-ngomong, kalau kita mau jujur, kebanyakan dari kita memang lebih berbudaya lisan dari pada tulisan. Banyak orang mendengar ceramah atau sejenisnya hanya mendengar tok, tidak mencatat apa-apa, terus setelah itu lupa. Banyak anak sekolahan atau kuliahan hanya mengandalkan buku teks tanpa mencatat omongan guru atau dosen. Para pakar ngomong berbusa-busa di televisi, tapi miskin tulisan ilmiah. Ironisnya, tidak sedikit yang melakukan tindakan plagiat, kalau terpaksa menulis untuk kenaikan pangkat atau promosi jabatan.Tak heran, rasio penerbitan buku per tahun di Indonesia konon salah satu yang terendah di dunia.

Ya, ini memang tantangan bagi kita. Kembali ke masalah UMKM, ini ladang subur bagi CSR perusahaan/bank, lembaga pendidikan, LSM atau pihak lainnya, untuk lebih peduli memberikan pendampingan (bukan pelatihan, karena biasanya selesai pelatihan, "lupa" lagi) pada pelaku UMKM, khususnya terkait dengan implementasi administarsi usaha.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun