Kenapa menganggap bule superior? Tulisan Ifani yang diposting siang ini menggelitik saya. Saya coba membahas dalam konteks hubungan dinas di banyak perusahaan di Jakarta yang menggunakan jasa para bule, baik yang di pro-hire (dijadikan pekerja/pejabat di perusahaan tersebut) atau hanya sebagai konsultan di suatu project.
Memang, dilihat dari hasil kerjanya, orang bule tidak bisa dibilang istimewa. Rekomendasi yang dihasilkan sebetulnya tidak beda jauh dengan yang kita pikirkan. Tapi dari sisi proses, harus diakui mereka lebih serius, lebih disiplin, dan lebih tahan lama dalam bekerja dibanding rata-rata pekerja kita. Bagi kita, menanamkan budaya on time saja susahnya setengah mati. Belum lagi "hobby" mengadakan rapat, yang hanya sekedar menghasilkan kesepakatan untuk rapat lagi, alias buang-buang waktu.
Seorang konsultan Booz Allen & Hamilton yang pernah dipakai kantor saya, pernah ngomong bahwa orang Indonesia itu pintar, tapi malas. Ia mengamati bahwa jam kerja efektif pekerja kita demikian sedikitnya. Pagi hari setelah absen menghabiskan waktu untuk sarapan dan dandan bisa sampai 1 jam. Lalu setelah jam 11, mulai ngobrol tentang makan siang mau di mana, plus makan siangnya, plus ngerokok, plus shalat, plus leyeh-leyeh, sudah jam 2. Jam 3.30 shalat ashar dan kecapean, ngobrol lagi terus beres-beres untuk pulang. lalu di hari Senin dan Jumat suasana tidak normal. Hari senin pekerja kurang semangat, karena kecapekan sehabis weekend, kalau jumat, semangatnya malah membahas rencana mau ngapain di weekend.
Belum lagi banyaknya pekerja yang minta izin setengah hari tidak ngantor karena anak sakit, ngantar istri ke dokter, ada famili dari kampung yang perlu dijemput ke bandara, rapat panitia reuni sekolahan, acara pengajian, dan sebagainya, dan sebagainya. Pusing kan, kalau anda jadi bos-nya? Tapi gak juga sih, karena bos nya orang lokal, ya dia sangat paham (toh dulu juga melakukan hal yang sama). Paling bos nya hanya pesan: Ok, asal kerjaan beres. Akhirnya kerjaan memang beres tapi dengan mutu yang minimal.
Ya begitulah kita di mata Bule. Akhirnya bule tetap laku, karena kalau bule yang memberikan rekomendasi, direksi akan segera setuju tanpa banyak tanya. Padahal rekomendasi tersebut sama dengan yang diajukan pejabat lokal yang dulu ditolak direksi, karena direksi merasa kita menggarapnya sambil becanda, tidak seserius bule bekerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H