Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Papan Nama Terbalik, Agar Tidak Lupa Diri

22 September 2016   17:02 Diperbarui: 22 September 2016   17:16 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pertemanan yang sangat erat antar dua orang sahabat, sejak duduk di bangku sekolah atau sejak memulai karir di sebuah instansi, belum tentu bisa langgeng. Sering kita dengar kekecewaan seseorang yang merasa dicuekin saat bertemu teman lamanya yang telah menduduki jabatan tinggi atau telah kaya raya. Mungkin karena sudah dianggap tidak se-level lagi. Sudah berbeda status sosialnya.

Tapi tentu juga ada yang tidak berubah, yang tetap hangat dengan teman lama yang masih pegawai level kroco, meskipun ia sudah seorang direktur. Yang beginian selalu bisa menempatkan diri dengan tepat, kapan harus berperan dengan membawa jabatan (yang tidak akan selamanya disandang) dan kapan berperan sebagai pribadi (yang akan selamanya disandang selagi hayat masih dikandung badan).

Saya terkesan dengan seorang direktur di tempat saya dulu bekerja. Nama beliau Suharsono yang membawahi beberapa divisi, antara lain Divisi Akuntansi. Kebetulan saat itu di era 90-an, saya salah seorang asisten manajer di Divisi Akuntansi. 

Suatu kali saya pernah diajak atasan saya untuk menghadap beliau. Saat itu saya menangkap ada sesuatu yang "salah" atau tidak pada tempat yang semestinya. Yang saya maksud sesuatu itu adalah papan nama yang lazimnya ditarok di atas meja kerja dengan posisi menghadap tamu yang duduk di depan meja kerja si bos, oleh beliau ditarok di meja samping dengan posisi terbalik. Bacaan nama di papan nama tersebut dipasang menghadap ke beliau sendiri. 

Beliau punya alasan filosofis kenapa membalik papan nama. Tapi sebelumnya perlu diketahui bahwa di era sebelum reformasi tersebut, hal-hal yang bersifat asesoris dari suatu jabatan, dinilai penting, termasuk sebuah benda yang disebut papan nama. Saking pentingnya, papan ini lazimnya terbuat dari kayu bermutu bagus dan diukir. Nama yang ditulis pun harus benar ejaannya, gelar akademis dan gelar lainnya, serta nama jabatannya.

Nah, Pak Suharsono tidak ingin melihat sesuatu dari sisi asesoris semata, tapi lebih kepada substansinya. Menurut beliau, papan nama baru diperlukan bila di sebuah ruangan ada beberapa meja, sehingga seseorang yang mau menghadap tidak akan nyasar. Meja mana yang akan dituju sudah terlihat dari papan nama. Begitu pula dalam sebuah rapat yang dihadiri banyak orang, atau dalam suatu kelas pelatihan, sangat penting ada papan nama di meja setiap peserta.

Tapi kalau seorang direktur yang punya ruangan kerja khusus, dan di pintu masuknya dijaga oleh seorang sekretaris, di pintu yang lebih jauh ada lagi satpam yang mengawal, rasanya  gak mungkin ada tamu yang kesasar. Jadi tamu yang menghadap Pak Suharsono, sama sekali tidak perlu membaca papan nama meja, karena yang duduk di belakang meja itu pastilah Pak Suharsono.

Itulah alasan beliau tidak merasa perlu memasang papan nama sesuai kelaziman saat itu. Justru beliau memasangnya di meja samping dekat perangkat komputer dan dekat pajangan foto keluarga dalam format sedang. Dan itu tadi, papan nama itu sengaja dipasang terbalik menghadap ke beliau.

Lho kok begitu? Jawaban persisnya baru saya temukan setelah beliau menulis sebuah buku berjudul 'Daun Kering' yang berisikan perjalanan karir beliau dari seorang anak ndeso di Blitar sampai menjadi direktur sebuah perusahaan milik negara terkemuka.

Di buku tersebut ada salah satu tulisan terkait papan nama yang terbalik. Menurut beliau, itulah salah satu cara agar beliau sadar diri, tidak mentang-mentang punya jabatan tinggi terus lupa dengan Suharsono yang lama, yang anak desa.

Beliau tidak ingin memakai topeng jabatan. Kalau beliau tersenyum, maka itu adalah senyum seorang Suharsono, bukan senyum yang dibuat-buat penuh kewibawaan dari seorang direktur. Begitu pula kalau beliau kecewa, marah, atau tertawa terpingkal-pingkal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun