Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengembalikan Kejayaan Sastra Sumatera

21 Mei 2015   20:28 Diperbarui: 8 Juli 2015   23:09 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Diskusi tentang apakah seorang sastrawan dilahirkan atau diciptakan, sama persis kalau kita diskusi tentang pemimpin. Ada yang bilang, itu sudah dari sono-nya membawa anugrah Tuhan berupa bakat. Ada pula yang berpendapat, siapapun kalau mau belajar dan praktek secara sungguh-sungguh serta tahan banting bisa menjadi pemimpin. Rumus ini berlaku juga untuk menjadi sastrawan.

Kelompok Kompas termasuk salah satu pihak yang sangat peduli pada perkembangan sastra di tanah air. Tak heran kalau Kompas menyelenggarakan "Lokakarya Cerpen" di beberapa kota di tahun ini. Kota Padang Panjang, sebuah kota kecil di utara Padang, Sumatera Barat, terpilih menjadi tempat lokakarya yang pertama, tanggal 11 Mei 2015. Masih ada giliran berikutnya di kota Denpasar, Makassar, Bandung, dan Jakarta.

Tentu panitia punya alasan tersendiri kenapa memilih Padang Panjang sebagai "wakil" Sumatera. Kota terbesar di Sumbar yang lebih lengkap fasilitasnya adalah Padang. Pusat wisatanya Bukittinggi. Namun, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), kalau tidak keliru satu-satunya di Sumatera, adanya di Padang Panjang. Di pinggir kotanya, di sebuah puncak bukit berdiri pula "Rumah Puisi Taufiq Ismail. Sastrawan besar sekaligus ulama besar, Buya Hamka, menghabiskan masa kecil dan remajanya di kota dingin ini.

Kembali ke lokakarya, tentu wajar kita berharap akan lahir cerpenis atau novelis atau penyair besar di masa datang. Dan kalau itu lahir dari pulau Sumatera, ini sebuah pengulangan dari peristiwa sekitar satu abad yang lampau. Saat itu pemerintahan Hindia Belanda mendirikan Balai Pustaka di tahun 1917, tempat berkreasinya sastrawan-sastrawan besar, yang didominasi oleh penulis asal Pulau Sumatera. Marah Rusli (pengarang Siti Nurbaya), Abdul Muis (Salah Asuhan), Tulis Sutan Sati (Sengsara Membawa Nikmat), semuanya berdarah Minang. Ada lagi Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Merari Siregar, Muhammad Yamin, Djamaluddin Adinegoro, Aman Datuk Madjoindo, Amir Hamzah, Sanusi Pane, Armijn Pane, Hamka, atau generasi berikutnya Chairil Anwar, Mochtar Lubis, Asrul Sani, Idrus, Suman HS, AA Navis, Sitor Situmorang, Iwan Simatupang, Taufiq Ismail, dan sebagainya. Namun, Sumatera tidak bisa lagi dibilang mendominir karena pengarang-pengarang hebat dari luar Sumatera bermunculan. Sebut saja Pramudya Ananta Toer, Achdiat K. Mihardja, Ramadhan KH, WS Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Budi Darma, Umar Kayam, Ahmad Tohari, Kuntowijoyo, Sapardi Djoko Damono, Putu Wijaya, NH Dini, Ajip Rosidi, Goenawan Muhammad, dan banyak lagi yang lainnya. Termasuk yang sekarang relatif muda dan memberikan pelatihan di Lokakarya Kompas seperti Seno Gumira Ajidarma, Yanusa Nugroho dan Agus Noor. Tentu ada juga pengarang asli Sumbar yang dilibatkan sebagai pemandu, yakni Gus tf Sakai. Novelis yang populer sekarang, ada juga yang dari Sumatera seperti Andrea Hirata (penulis Laskar Pelangi) dan A. Fuadi (Negeri 5 Menara)

Membaca ulasan Kompas terkait lokakarya tersebut, di mana ada beberapa orang yang masih berstatus siswa SMA yang terpilih seleksi, kembali membuktikan bahwa kalau soal bakat, orang Sumatera tidak kalah. Di periode 1970-an dan 1980-an setahu saya koran lokal di Padang (Haluan dan Singgalang) menyediakan lembaran khusus sastra remaja yang dengan telaten diasuh oleh sastrawan senior saat itu, Rusli Marzuki Saria dan Chairul Harun. Tapi dari banyak penulis muda saat itu, yang masih terus berkarya hingga kini tinggal beberapa saja seperti Harris Effendi Thahar dan Taufik Ikram Jamil/p>

Semoga saja Kompas punya program yang berkelanjutan yang bisa memantau perkembangan penulis yang dibina dalam lokakarya. Pada akhirnya konsistensi penulis untuk secara sungguh-sungguh memilih menjadi sastrwan di tengah banyak godaan profesi lain yang lebih banyak fulusnya, akan menjadi faktor penentu. Mencetak sastrawan besar baru amat penting tidak saja bagi perkembangan bahasa dan sastra itu sendiri, tapi terlebih lagi untuk kemajuan bangsa secara keseluruhan, karena buah karya sastrwan tidak jauh dari fenomena sosial yang terjadi di zamannya. Akankah kelak lahir pemenang nobel sastra dari Indonesia?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun