Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mencatat, Kegiatan Bermanfaat yang Sudah Tamat

8 April 2016   21:04 Diperbarui: 8 April 2016   21:11 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kakak saya seorang guru. Dia bercerita betapa kesalnya saat ini melihat murid-muridnya tidak lagi mau mencatat. Apa yang dituliskannya di papan tulis hanya difoto saja.  Bila ada PR, para murid bertanya ke mbah google. Yang lain copy paste. Gak ketahuan siapa yang nyontek, semua jawaban sama.

Saya ingin menggarisbawahi kegiatan mencatat, karena merupakan salah satu hobi saya. Mencatat adalah sebuah proses yang melibatkan banyak panca indra. Dengan mencatat, proses belajar terasa lebih merasuk, dan saat membaca kembali catatan tersebut, rasanya lebih hidup dan daya imajinasi lebih kaya.  Langsung teringat bagaimana saat guru menjelaskan dan apa hubungan antar catatan yang satu dengan yang lain.

Catatan bersifat individu, maksudnya atas penjelasan guru di depan sekumpulan murid, masing-masing bisa berbeda-beda catatannya. Makanya yang paling enak adalah membaca catatan sendiri, meski penuh tanda panah dan singkatan. Bila terpaksa membaca catatan teman, beda sekali rasanya. Hanya sekadar membaca yang tercatat, dan kehilangan "roh"-nya.

Nah, seperti itulah bila catatan di papan tulis sekadar di foto melalui kamera hape. Tidak semua hal penting yang terucap dari mulut guru dan pantas dicatat, tertulis di papan tulis atau di slide yang ditayangkan. Seringnya slide disajikan berupa dot point berisi highlight yang bila tidak disimak secara seksama, tidak banyak berarti. Salah satu metode menyimak yang baik adalah dengan mendengar, melihat dan sekaligus mencatatnya.

Hal tersebut berkembang juga di kantor. Saat pimpinan memberi pengarahan, tak ada lagi karyawan yang mencatat. Karyawan hanya mengandalkan materi presentasi yang dibagikan berupa soft copy. Padahal banyak yang malas membuka materi soft copy tersebut. 

Di kantor tempat saya bekerja sudah mulai diterapkan materi e-learning. Beberapa materi ditujukan untuk level pejabat. Bila sang pejabat selesai membaca materi, langsung ikut ujian yang juga dilakukan secara elektronik. Tapi tahu sendiri, pejabat kan rata-rata pada malas disuruh belajar. Pakai tatap muka saja malas, apalagi e-learning. Akibatnya, dengan pakai username dan password si pejabat, yang disuruh belajar dan ujian adalah stafnya yang pintar. Namun nama yang dapat sertifikat tetaplah si pejabat.

Saya sampai sekarang masih berpendapat mencatat bermanfaat banyak untuk keberhasilan belajar. Boleh saja tidak mencatat di kertas, tapi di fitur yang ada di telpon genggam. Namun saya memahami, bagaimanapun juga kegiatan memcatat sudah memasuki tahap senjakala.

Di tengah arus informasi yang ibarat air bah sekarang ini, semua ilmu seketika bisa didapat secara instan. Gampang didapat, gampang pula hilangnya. Setiap saat muncul informasi baru, dan yang barusan dibaca langsung hilang, menjadi betul-betul "di luar kepala" secara harfiah. Apalagi semuanya dilakukan secara multi-tasking. Tidak fokus. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun