[caption caption="KOMPAS.COM/ M Wismabrata"][/caption]Terlalu banyak info bersliweran di media sosial, sehingga sering saya abaikan saja. Tapi baru saja saya tertarik membaca sebuah tulisan yang menghimbau pembaca untuk berbelanja di warung tetangga. Memberi tetangga sedikit keuntungan akan sangat berarti dibanding memberi keuntungan ke peritel besar yang bak menggarami air laut. Lagi pula hal ini akan mempererat silaturahim antar tetangga.
Jujur saja, saya merasa tertampar. Terbayang wajah Pak Edi yang punya warung kecil menjual perlengkapan harian sekitar empat rumah dari rumah saya. Pak Edi amat baik, kalau ketemu sering duluan menegur saya. Saya terlanjur punya pola belanja mingguan atau dua mingguan di sebuah peritel besar sekitar 500 meter dari rumah.
Alasan saya hanya karena kelengkapan barang yang dibutuhkan, kenyamanan dan kepraktisan. Saya terbiasa menyetok sabun mandi, pasta gigi, sikat gigi, sampo, biskuit, air mineral, dan kebutuhan lain, sehingga praktis tidak memerlukan belanja ke warung Pak Edi. Meski secara insidentil pernah juga, tapi amat jarang. Saya berusaha mengkompensirnya dengan memberi bingkisan saat mau lebaran atau kalau ada acara khusus.Â
Ke depan, saya berusaha untuk menambah frekuensi belanja di warung Pak Edi dan juga penjual makanan yang gerobaknya mangkal gak berapa jauh dari warung tersebut. Tapi saya melihat Pak Edi sudah punya pelanggan tetap seperti pembantu rumah tangga, para tukang yang lagi merenovasi rumah di sekitar tempat tinggal saya, sopir angkot, sopir taksi, pengojek dan orang lewat. Rokok, air mineral dan roti kayaknya yang paling laku.
Di sekitar tempat tinggal saya, dulunya ada banyak warung. Garasi rumah, bahkan teras depan, ada yang disulap jadi warung. Tapi satu-persatu bertumbangan seiring makin menjamurnya peritel kelas sedang dengan pola waralaba. Pak Edi masih bertahan karena warungnya sekaligus tempat ngumpul dan ngobrol pelanggannya itu tadi.
Tapi setahu saya di kawasan kelas bawah yang ditandai dengan gang yang padat dengan rumah kecil berhimpitan, keberadaan warung masih sangat dibutuhkan, dan rata-rata setiap belasan rumah ada satu warung. Nah kalau beginian hati-hati juga, bila kita memilih warung A, padahal warung B sama dekatnya, sama-sama tetangga, si B bisa tersinggung.Â
Saya sendiri waktu kuliah pernah pindah kos gara-gara memilih tidak belanja ke warung makanan milik ibu kos saya, tapi malahan ke warung saingannya jarak tiga rumah dari kosan saya. Alasan saya sebetulnya adalah karena sering melihat cara ibu kos mengolah makanan yang kurang higienis.Â
O ya, orang tua saya pun dulu di Payakumbuh, Sumbar, mencari pendapatan tambahan dari warung harian. Sewaktu seorang kakak saya serius mengelolanya, warung tersebut mencapai puncak kejayaannya, karena pelanggannya tidak hanya tetangga tapi bahkan datang dari jarak 1 sampai 2 km.Â
Kunci keberhasilan kakak saya adalah barang yang lengkap dengan harga murah karena mengambil untung hanya sedikit, yang penting barang selalu berputar. Satu lagi, kakak saya sangat jujur dengan takaran dan timbangan.Â
Jadi, gerakan belanja ke warung tetangga menurut saya bersifat positif. Tapi dari sisi pelaku usaha yang punya warung harus pula menerapkan cara berdagang yang fair, dengan penuh kejujuran dan harga yang bisa bersaing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H