Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Marah Itu Perlu

4 Maret 2016   11:30 Diperbarui: 4 Maret 2016   11:58 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tulisan kompasianer Cucum Suminar sekitar dua minggu yang lalu mengetengahkan tentang bos-bos yang tidak disukai anak buah. Ada 5 tingkah laku bos yang disorot, dua di anataranya terkait dengan perilaku marah, yakni "marah di depan umum" dan "marah di luar batas kewajaran".

Nah, saya ingin menambahkan beberapa catatan. Pertama, jangan sampai ada anggapan, "marah itu tidak perlu" bagi seorang bos. Ingat topik yang aktual di media masa saat ini, betapa publik gregetan menyaksikan beberapa menteri saling adu argumen secara kurang sehat di depan sorot kamera jurnalis. Lalu muncul harapan, sudah saatnya Presiden memarahinya menterinya yang tidak sejalan dengan visi Presiden.

Atau tidak usahlah kita ngomongin negara. Di level perusahaan saja, pengalaman saya memang sering nyaman sekali berada di bawah bos yang gak pernah marah. Namun saking nyamannya malah merusak semangat kerja. Betapa tidak. Para pegawai mulai ngelunjak. Awalnya satu-dua orang datang telat atau pulang cepat tanpa izin bos. Ternyata terhadap perilaku seperti itu tidak ditegur atau dimarahi bos. Lama-lama anak yang rajin ikut terseret ke suasana malas. Jelaslah bahwa marah itu perlu.

Kedua, sangat sepakat dengan tulisan Cucum Suminar, bahwa marah di depan umum dan di luar batas kewajaran, harus dihindarkan para bos. Saya ingat beberapa pengalaman saya tentang hal ini. Awal saya baru berkarir di sebuah BUMN di penghujung dekade 80-an, bos-bos banyak yang setia dengan gaya lama yang amat gemar mempertunjukkan kekuasaannya. Marah-marah di ruang rapat sudah sering. Meski yang dimarahi itu satu atau dua orang saja, se-isi ruangan kena getahnya. Asbak melayang tepat di depan anak yang dimarahi. Nama penghuni kebon binatang meluncur deras dari mulut bos. Jelas bos seperti itu amat tidak disukai, sehingga saat beliau dipindahkan ke unit kerja lain, kami semua mengadakan syukuran, seperti lepas dari penjara.

Alhamdulillah, sekarang adegan lempar asbak sudah tidak ada lagi, karena di tempat saya bekerja sudah tidak diperkenankan merokok di ruangan kantor, praktis tidak disediakan asbak. Tapi perilaku melempar dengan benda lain pun (kalau mau bisa saja dengan spidol, penghapus, gelas, dan sebagainya), juga tidak terjadi lagi. Membilang seseorang sebagai anjing, kucing, kambing, babi, harimau, atau binatang lainnya pun sudah tidak ada.

Namun, perilaku marah di depan umum tetap ada. Misalkan ada rapat yang dipimpin oleh seorang Pemimpin Wilayah dengan peserta rapat seluruh Pemimpin Cabang. Ada satu-dua Pemimpin Cabang yang dimarahi di depan koleganya, bahkan dengan kata-kata yang nyelekit seperti: "kok lebih goblok ketimbang lulusan SD", masih saja terjadi. Jelas bos yang seperti ini gagal menciptakan kondisi yang nyaman bagi anak buahnya. Masuk ruang rapat kayak masuk ruang pengadilan saja.

Ngomong-ngomong saya pernah punya bos seorang wanita. Sebagai kepala divisi akuntansi beliau yang paling bertanggungjawab atas kebenaran laporan keuangan perusahaan yang secara periodik dipublikasikan di media cetak. Suatu kali angka yang di-publish ada satu item yang keliru dan terpaksa diralat. Sang bos marah-marah pada beberapa petugas yang mengolah data. Tapi marahnya masih pada taraf wajar, termasuk kepada saya sendiri karena saya harusnya bisa menemukan kesalahan tersebut sebelum diunjukkan pada si bos untuk disetujui. Di depan anak buah saya, saya dibilangi lalai tidak mengontrol dengan baik. Ok, saya langsung mengakui kelalaian saya, meski dalam hati saya berpikir, kalau saya dipanggil ke ruangan bos dan dimarahi habis-habisan, menurut saya akan bisa menyelamatkan muka saya.

Tapi saya akhirnya mengapresiasi si bos, karena saat beliau balik ke ruangan, sebuah gelas dilempar si bos sampai pecah berkeping-keping. Saya tahunya setelah si bos pulang, lalu office boy yang membersihkan ruangan bercerita tentang hal ini. Artinya, saya bisa memahami beliau amat sangat marahnya, tapi masih mampu menahan emosi di depan bawahannya, dan karena secara psikis butuh pelampiasan, maka gelas yang dipilih sebagai korban.

Ketiga, sepakat ya kalau marah itu perlu. Masalahnya marah yang baik itu seperti apa? Mengacu ke paparan di atas, tentu saja marah-marah yang tidak mengumbar emosi. Tidak dengan menyebut nama-nama penghuni bonbin alias kebon binatang. Tidak pula mengumbar kata goblok, dungu, dan sinonimnya. Idealnya, kalau yang bersalah hanya satu orang, lebih baik memanggil yang bersangkutan ke ruangan, lalu marahi secara proporsional. Ungkapkan apa kelakuan anak buah yang tidak disukai, koreksi apa yang harus dilakukannya, dan bila perlu tambahkan dengan ancaman.

Namun adakalanya yang perlu dimarahi itu ada banyak anak buah, meski tidak semua. Untuk yang beginian, tidak ada salahnya semua anak buah dikumpulkan, dan si bos bisa saja menumpahkan kekecewaannya, harapannya, dan ancamannya ke semua anak buah. Biarkan yang merasa belum melakukan sepertti harapan si bos, akan merasa kena tembak, dan yang sudah sesuai harapan justru merasa telah dihargai di depan teman-temannya sendiri.

Reward and punishment bisa dilakukan secara terbuka, umpamanya seperti contoh di atas, saat Pemimpin Wilayah mengumpulkan semua Pemimpin Cabang. Cabang yang kinerjanya jauh di abawah target, boleh saja "dicambuk", hanya saja beri kesempatan mereka untuk menjelaskan kendala yang mereka hadapi dan beri masukan untuk solusinya.  Sedangkan cabang yang melampaui target, diberikan pujian serta diminta melakukan sharing untuk ditiru rekan-rekannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun