Bacalah berbagai buku teks tentang korupsi. Ada banyak teori yang menjelaskan penyebab perilaku korupsi, di antaranya disebut dengan "fraud triangle" atau segitiga penyebab fraud yakni adanya opportunity (kesempatan), adanya financial pressure (kebutuhan keuangan yang mendesak), dan adanya rationalization (pembenaran).
Bila dikaitkan dengan terkuaknya praktek korupsi di beberapa BUMN, terakhir ada kasus yang diduga berkaitan dengan mantan orang nomor satu di maskapai penerbangan terkemuka di negara kita, maka bisa dipastikan ini tidak terkait dengan tekanan  keuangan. Kenapa? Karena gaji dan bonus di perusahaan milik negara relatif besar, jauh di atas gaji pejabat di kementrian atau pejabat pemerintah daerah. Maka faktor penyebab yang relevan hanyalah soal kesempatan dan pembenaran.Â
Tentang kesempatan, tidak perlu kita ulas. Bagi seorang yang menentukan dalam pengambilan keputusan di sebuah BUMN, tentu saja kesempatan sangat terbuka lebar, terutama bila prosedur secara formal telah dilalui. Ada anggapan bahwa bila prosedur formal, katakanlah sebagai contoh dalam pengadaan barang, telah terpenuhi, maka sudah aman.
Padahal di situlah peluang itu muncul, dan godaan untuk terlibat sungguh menggiurkan, karena merasa situasi sudah aman. Misalnya, atas keputusan yang secara formal sudah betul itu, ada pihak lain yang diuntungkan, dan pihak lain itu memberi hadiah. Sepanjang ada pembenaran untuk itu, maka terjadilah gratifikasi, yang termasuk sebagai tindakan korupsi.
Perlu diingat, pihak yang diuntungkan ingin membina hubungan yang baik dalam masa panjang. Memberi sweetener adalah salah satu taktik untuk itu. Tinggal sikap perusahaan yang diberi seperti apa? Ditolak, diterima resmi untuk kepentingan perusahaan, atau diterima diam-diam untuk pribadi.
Kalau ditolak, selesai sudah ceritanya. Diterima untuk perusahaan, bisa dirundingkan dulu dengan pihak pemberi. Bisa berupa undangan pelatihan di luar negeri bagi beberapa pejabat, membangun suatu gedung di perusahaan seperti musholla, ruang kesenian, tempat berolahraga, dan sebagainya. Bagi perusahaan pemberi, dibuku resmi sebagai biaya pemasaran. Bagi perusahaan penerima dibuku resmi sebagai hibah.
Lalu kalau diterima diam-diam untuk pribadi? Nah, inilah yang perlu pembenaran yang sistematis dan terukur, minimal untuk menentramkan hati nurani sang oknum penerima. "Ini sudah biasa, pejabat yang dulu juga begitu, dan semua aman", ini salah satu pembenaran.
Apalagi bila pihak pemberi mengatakan bahwa mereka punya kebijakan menyisihkan sekian persen dari keuntungan untuk membina relasi, dan dalam pembukuan mereka tidak menyebutkan nama si penerima, dalam arti tidak perlu ada kuitansi yang ditanda tangani atau sejenis itu. Aman bukan? Hajar bleh, kata bisikan setan.
Di lain pihak, pejabat penerima merasa memerlukan sejumlah dana untuk menutupi biaya sosial yang besar, yang secara resmi tidak bisa diambilkan dari perusahaan. Jangan lupa si pejabat juga ingin membina relasi jangka panjang dengan para penguasa baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Termasuk pula hubungan dengan media, tokoh pubilk, lembaga swadaya masyarakat, dan sebagainya. Tentu ada biaya sosial untuk membina relasi.
Uraian di atas hanya bersifat imajiner, tidak berkaitan dengan kasus mana pun. Tapi dari hal di atas, lengkaplah sudah tergambar kesempatan dan pembenarannya. Â Yang sering terlupakan adalah, nikmatnya korupsi bersifat sementara. Deg-degannya selamanya. Karena sekarang yang sudah mantan pejabat pun, kasusnya bisa terungkap. Jadi berhati-hatilah, jangan berburu jabatan bila tidak tahan godaan.Â
Contohlah para pendahulu yang berintegritas tinggi, seperti yang diperlihatkan mantan Wapres Mohammad Hatta, mantan Kapolri Hugeng, atau mantan Menteri Keuangan Marie Muhammad. Hanya saja, contoh seperti itu sekarang semakin langka. Namun dengan semakin terkuaknya berbagai kasus korupsi, mudah-mudahan efektif untuk mencegah hal serupa di masa datang.