Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kondangan; Pantasnya Ngasih Berapa?

5 Februari 2014   11:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:08 4842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Banyaknya undangan pernikahan (populer disebut kondangan, konon berasal dari kata ke undangan) yang anda terima, di satu sisi bisa mencerminkan luasnya pergaulan anda, tapi di sisi lain juga berarti anda harus punya social cost yang relatif besar. Dulu, menghadiri kondangan kita bawa kado, berupa barang yang dibungkus kertas kado secara menarik, sekarang dilipat jadi duit, atau kasih mentahnya aja.

Memang ada juga sih yang nekat kasih amplop kosong. Dengan modal batik, makan gratis. Tapi malu juga kalau ketahuan, apalagi di beberapa tempat, ada sistem dimana petugas penerima tamu memberi nomor urut amplop sesuai dengan urutan di buku tamu. Menanyakan berapa isi amplop teman-teman lain yang juga datang bersama kita, rasanya tidak etis.

Kalau begitu, ya kita harus punya rumus sendiri. Ada yang memakai rumus dengan memperkirakan harga hidangan per porsi (kalau yang datang suami istri berarti setara dua porsi). Ada yang tergantung status sosial si pengundang, semakin tinggi statusnya, semakin tebal amplop yang diberikan. Namun ada juga yang berpikir sebaliknya, semakin rendah status sosial pengundang,, semakin besar isi amplop yang diberikan (kalu orang kaya dikasih banyak, percuma, bagai menggarami air di laut). Ada juga yang tergantung posisi kita sebagi yang diundang. Umpama kita seorang yang punya kedudukan tinggi di kantor, masak tega ngasih sedikit. Tapi kalau posisi kita rendah, ya tahu dirilah, masak ngasih amplop lebih tebal dari amplop si bos (di samping memang yang mau diisikan itu terbatas sumbernya).

Yang paling menguras pikiran adalah kalo yang punya hajat adalah bos kita sebagai pengundang, atau pejabat yang menentukan proyek-proyek kita sebagai pengundang. Ngasih sedikit, takut dianggap tidak berpartisipasi. Ngasih banyak, takut dianggap ada udang dibalik batu. Dulu masih lazim memberi amplop yang berisi dollar US, sehingga tidak terlalu mencolok (sekarang masih kali, ya?). Sekarang karena ada kewajiban pejabat melaporkan hadiah yang diterimanya dalam pesta-pesta sejenis ke KPK, mungkin tidak se jor-jor an dulu. Tapi, karangan bunga yang diterima jadi meng-ular panjang sekali.

Apapun juga, akhirnya kembali kepada "keikhlasan". Silaturahmi lebih penting dari sekedar amplop. Bahkan ada undangan yang dibubuhi kalimat;"tidak terima bingkisan dalam bentuk apapun". Atau begini;"Semua sumbangan anda akan kami teruskan ke Panti Asuhan X". Artinya, yang diharapkan betul-betul kedatangan dan doa restu anda, tidak lebih dari itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun