Idealisme pembuat film adakalanya tidak sinkron dengan pragmatisme penyandang dananya. Namun sekarang problem tersebut ada jalan keluarnya. Dengan kecanggihan dan kecepatan menyebarkan ide melalui media sosial, terciptalah sebuah film berjudul "Ketika Mas Gagah Pergi". Film tersebut, selanjutnya saya singkat KMGP, hari-hari ini tengah diputar serentak di banyak kota di seluruh Indonesia.
KMGP diangkat ke layar lebar berdasarkan novel berjudul sama karya penulis religi kenamaan, Helvy Tiana Rosa (selanjutnya disingkat HTR). Seperti yang diberitakan Republika, 21 Januari 2016, KMGP sepenuhnya didanai oleh masyarakat, yang istilah kerennya adalah crowdfunding.
Proyek film ditawarkan HTR ke calon penonton melalui kickstarter.com. HTR juga berkeliling 120 kota dan terkumpul dana untuk pembuatan film Rp 6,2 miliar. Sebelumnya ada 11 rumah produksi yang menawarkan kerjasama tapi tak ada kecocokan.
Bahkan film ini telah dirancang demikian lama sejak tahun 2004 dan telah melibatkan tiga tokoh besar perfilman nasional yang semuanya kini sudah almarhum, yakni sutradara Chairul Umam, Ferrasta "Pepeng" Soebardi, dan Didi Petet. Dan memang tersaji kalimat persembahan beserta foto tiga tokoh tersebut di akhir film.
HTR berharap sejuta orang akan menonton KMGP dan sebagian hasilnya akan disumbangkan buat pembangunan pendidikan di Indonesia Timur dan Palestina. KMPG sendiri awalnya ditulis HTR sebagai cerpen remaja dalam rangka tugas mata kuliah Sastra Populer di Fakultas Sastra UI tahun 1992.
Kisah KMGP itu sendiri adalah tentang "hijrah" Mas Gagah dari seorang anak muda gaul di ibukota Jakarta menjadi anak muda yang religius setelah pulang dari Ternate. Namun perubahan tersebut menimbulkan konflik dengan adiknya, Gita, yang merasa kehilangan Mas Gagah yang "asli", yang anak gaul itu tadi dan selalu membela adiknya. Gita sendiri adalah seorang gadis yang tomboy. Gita dan Gagah telah ditinggal ayahnya, dan tinggal bersama sang ibu.
Dengan gambaran di atas, saya punya ekspektasi tinggi akan film KMGP. Â Meski secara umum lumayan bagus, apalagi di awal film saya terpesona dengan keindahan alam Ternate, saya menyisakan beberapa catatan berikut ini.
Pertama, terlalu banyak khotbah yang bersifat naratif, bisa jadi "membosankan" sebagian penonton. Bahkan ada seorang yang masih satu kelompok pengajian dengan Mas Gagah, "berkhotbah" di atas bis seperti, mohon maaf, seorang pengamen. Tokoh-tokohnya juga seorang jagoan, seperti si pengkhotbah yang bisa mengalahkan pencopet saat berantem di bis. Mas Gagah juga bisa mengalahkan tiga preman di daerah kumuh di Jakarta Utara. Dalam realita, barangkali sulit menemukan anak muda jagoan yang berkhotbah di bis umum dengan penumpang yang heterogen lintas agama.
Kedua, alur cerita yang meloncat-loncat, membuat penonton harus bisa menafsirkan sendiri. Contoh, saat Mas Gagah lagi mengambil foto dari atas sebuah tebing ke arah laut biru dan gunung yang ada di seberang (bayangkan uang kertas Rp 1.000, yang bergambar gunung di Ternate, ya itulah lokasi pemotretannya), Mas gagah terperosok, jatuh ke laut. Setelah itu gak jelas bagaimana caranya Mas gagah bisa selamat, dan bisa ketemu kiai di Ternate yang mengajarinya agama Islam yang benar, yang membuat ia "hijrah".
Ketiga, ending-nya terputus secara kurang mulus, meski memang tertulis akan ada sambungannya di film KMPG 2. Tapi, lazimnya setiap film harusnya punya klimaks. Walaupun akan ada seri ke 2, minimal ada sub klimaksnya. Di KMGP 1, film berakhir begitu saja, saat konflik Gagah-Gita masih menggantung.
Dugaan saya, mudah-mudahan meleset, target satu juta penonton agak berat. KMGP baru berhasil dalam crowdfunding, belum crowdmarketing-nya. Saya tidak melihat antrian pembeli tiket seperti saat pemutaran film religi yang fenomenal "Ayat-ayat Cinta". Saya jadi menduga-duga, tidak ada titik temu antara HTR dengan mitra kerja sebelum sistem crowdfunding dipakai, mungkin, sekali lagi mungkin, karena HTR ingin menonjolkan khotbah naratif.