Kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, yang mewajibkan orang tua mengantar anaknya ke sekolah di hari pertama, khususnya untuk murid TK dan SD, pantas untuk diapresiasi. Puluhan tahun yang lalu, saya pun, meski tidak diwajibkan pemerintah, juga diantar oleh bapak saya saat hari pertama masuk SD (saya tidak punya pengalaman sekolah di TK). Saya lupa apakah saya menangis atau tidak, yang pasti merasa takut sewaktu saya dan murid lain dikumpulkan dalam kelas, sementara orang tua menunggu di luar. Hari ke dua dan seterusnya di minggu pertama, saya berangkat bareng kakak yang sudah duduk di kelas 2 SD. Mulai minggu ke 2 saya sudah berangkat sendiri, maksudnya sudah ada teman se-kelas yang berangkat dan pulang bareng berjalan-kaki. Lalu hari pertama di SMP dan juga di pendidikan lebih tinggi lagi, saya sudah berangkat sendiri saja. Bahkan dalam mendaftar saat proses mencari sekolah pun sudah dilakukan sendiri.Â
Rasanya, tanpa diatur pemerintah pun para orang tua akan mengantar anaknya ke sekolah di hari pertama. Tapi, dengan kewajiban resmi, akan menggampangkan orang tua yang bekerja di kantor untuk minta izin atasannya selama beberapa jam. Saya mengira, untuk level kelas 1 SMP (kelas VII) dan kelas 1 SMA (kelas X) pun oarng tua akan mengusahakan sebisanya mengantar anak di minggu pertama, terutama di kota-kota besar. Pengecualian mungkin untuk level sangat atas, dengan orang tua yang super sibuk, namun anak disediakan mobil plus sopir khusus.
Kenapa sampai SMA pun anak perlu diantar? Pertama, tinggal di kota besar seperti Jakarta, termasuk pinggirannya, punya problem keruwetan lalu lintas. Tanpa diantar, mungkin si anak akan bingung di hari pertama. Kalau diantar, maka si anak tidak bingung sendiri, tapi bingungnya berdua orangtua. Tapi tentu diharapkan orang tua tidak bingung, karena sudah lebih tahu medan. Tahu jenis kendaraannya atau kalau berganti kendaraan 2 sampai 3 kali, juga tahu. Problem lalu lintas untuk anak seusia SMP SMA hanya bingung untuk seminggu, setelah itu harusnya mereka bisa mandiri. Nah alasan kedua, ini yang lebih menghantui orangtua, yakni relatif seringnya anak SMP SMA terlibat kenakalan yang berbau kriminal. Bisa berupa tawuran, pemalakan, dan sebagainya. Ini yang bikin sport jantung. Namun setelah minggu pertama, si anak mau tak mau harus dilepas sendiri bagi orangtua yang tidak punya kendaraan pengantar, atau tidak ikut program antar-jemput. Dalam kondisi begini kalau anak pulang di atas selepas magrib, tentu jadi was-was. Alasan ketiga, masih adanya praktek bullying dari kakak kelas berdalih masa orientasi siswa. Biasanya diadakan di minggu pertama. Orangtua ingin memastikan anaknya aman-aman saja. Konon, masa orientasi yang berbau plonco ini, merupakan peninggalan era kolonial, yang belum bisa terkikis, selalu diturunkan oleh senior ke junior. Ironisnya, sehabis masa orientasi pun, sepanjang si anak masih di tahun pertama kerap dikerjain kakak kelasnya.
Jadi, sebaiknya keterlibatan orang tua, bukan sekadar mengantar di minggu pertama. Bahwa itu penting, iya. Tapi belum cukup. Yang dibutuhkan adalah keterlibatan setiap saat untuk memantau si anak, meski secara fisik tidak berdekatan. Setiap malam, usahakan makan malam bersama, dan minta anak bercerita aktivitasnya sehari ini di sekolah. Pancing anak untuk mengungkapkan keluhannya dan cari solusinya. Ketahui nama yang akrab dengan anak. Ketahui juga guru-guru si anak, paling tidak wali kelas dan guru bimbingan konseling-nya. Ketahui itu berarti secara periodik berinteraksi, baik langsung di saat antar-jemput, terima rapor, atau via hp. Bila di sekolah anak tidak diperkenankan membawa hp ke kelas, tanya gurunya bagaimana cara menghubungi, bila ada kedaaan di luar dugaan.
Selain itu, faktor guru di sekolah pun harus akomodatif menanggapi keluhan orangtua siswa. Sering ada kegiatan ekskul yang dilakukan berkelompok dan di luar lingkungan sekolah. Jika kegiatannya berlangsung sampai magrib, guru harus menentukan siapa ketua kelompok, yang memastikan teman-teman anggotanya bisa pulang ke rumah dengan aman. Guru sebaiknya mengontak ketua masing-masing kelompok. Namun, sebaiknya berbagai program yang sifatnya ekstra, juga melibatkan orangtua siswa untuk diminta masukannya. Kalau kegiatannya lintas angkatan, guru juga memantau apakah ada praktek pemaksaan dari kakak kelas ke adik kelas.
Terakhir, yang paling penting tentu saja mengajarkan kemandirian untuk anak yang sudah duduk di bangku SMP-SMA. Kalau sewaktu-waktu pulang malam, mereka tidak panik, tahu rute pulang ke rumah, tahu jenis kendaraan yang aman, berani melawan atau bisa menghindar dari orang dewasa yang bertindak mencurigakan. Yang juga tak kalah penting, anak selalu mengontak orang tua via hp tentang apa kegiatannya, dan lagi berada di mana.
Inti dari semuanya, adalah harus ada komunikasi yang baik dengan frekuansi yang sering (meski tidak ada masalah sekalipun) dari ketiga komponen, siswa-guru-orangtua. Sifat komunikasinya harus dua arah atau interaktif. Orangtua tidak mendikte anak. Anak tidak menyembunyikan sesuatu dari orangtua. Demikian juga antara guru ke murid atau sebaliknya, dan guru ke orangtua murid atau sebaliknya. Dengan proses komunikasi tersebut, secara tidak langsung masalah budi pekerti, akhlak, ataupun praktek sosial dan keagamaan si anak bisa terpantau. Bila ada tanda-tanda "melenceng", relatif masih mudah untuk mengembalikan ke jalan yang benar. Ingat, kesuksesan anak-anak kita, adalah masa depan bangsa.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H