Long weekend dari tanggal 5 sampai 8 Mei membuat banyak warga Jakarta ke luar kota sehingga jalur ke Puncak atau Tol Cikampek menjadi macet. Tapi jangan bayangkan Jakarta jadi sepi seperti suasana lebaran. Ini hanya saling bertukar saja, karena banyak pula orang daerah yang ingin berjalan-jalan di ibukota.
Saya termasuk yang "tersandra" karena harus menjadi pemandu bagi enam orang keluarga sepupu saya yang datang dari Batam, sebahagian besar baru pertama kali ke Jakarta. Jadilah saya merancang suatu paket empat hari tiga malam. Sebuah paket yang fleksibel, yang gampang berubah bila kondisi di lapangan di luar dugaan. Juga saya harus mengakomodasi permintaan mendadak mereka ke suatu tempat meski itu di luar rencana semula.
Hari pertama jam 4 sore, tamu saya mendarat dan saya sudah stand by di terminal kedatangan menyambut mereka. Namun karena lamanya proses mengambil barang, baru jam 5 sore kami bisa meninggalkan bandara yang langsung dihadang macet yang luar biasa sampai adanya jalur pemisah buat kendaraan yang ke Tangerang.Â
Rencana ke kawasan kota lama harus saya ganti langsung ke Monumen Nasional. Sepanjang jalan saya mencoba sepelan mungkin di objek yang menarik perhatian mereka. Ternyata lokasi yang sering muncul di teve membuat mereka merasa wow seperti di bundaran Hotel Indonesia, Istana Presiden, Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral.Â
Lalu Monas di malam hari dengan dilumuri sinar, lumayan menghibur mereka, meski kami tidak sempat naik ke puncak. Agenda hari pertama ditutup dengan makan nasi uduk di Kebon Kacang di sebuah tempat yang favorit terbukti dari penuhnya pelanggan yang bersantap malam.
Agenda hari kedua adalah menikmati kota tua (agenda hari pertama yang tertunda), pantai Ancol, dan Taman Mini. Memang ketiga objek tersebut bersama Monas bolehlah disebut ikon wisata Ibukota. Ancol rupanya tetap magnet paling kuat di hari libur. Antrian tidak saja di pintu masuk dan di loket wahana Dunia Fantasi, tapi di sepanjang jalur pantai, kendaraan merayap pelan bahkan terhenti di beberapa tempat.
Agenda hari ketiga, rencana akan diisi dengan wisata belanja ke pusat perdagangan, konon terbesar se Asia Tenggara, yakni Tanah Abang dan Mangga Dua. Ini bukan rekomendasi saya, tapi permintaan tamu. Rupanya kemasyhuran Tanah Abang dan Mangga Dua tercium ke seluruh tanah air, meski warga Jakarta sendiri sudah beralih dengan banyak belanja dari mal ke mal.Â
Agenda hari keempat adalah hari kembali bagi sang tamu. Saya akan menawarkan mereka berfoto di beberapa lokasi yang searah ke bandara dari rumah saya di Tebet. Contohnya Stadion Utama Senayan (GBK), Jakarta Covention Center dan Mal Taman Anggrek atau Central Park yang juga objek yang ikonik dan sering masuk teve.
Akhirnya saya berpikir kenapa ya city tour di Jakarta tidak bisa dibuat menarik seperti di luar negeri? Di Kuala Lumpur sebagai misal, turis asing sangat banyak memenuhi kawasan Menara Petronas, Istana Kerajaan, kawasan pusat pemerintahan Putera Jaya, atau kawasan bisnis Bukit Bintang. Untuk mencari souvenir khas Jakarta saja, kita sudah kebingungan. Map atau peta wisata Jakarta juga sulit didapatkan.
Jakarta masih belum memposisikan diri  sebagai pusat dalam peta perpariwisataan nasional seperti Bali dan Yogyakarta. Bahkan kalah ketimbang Bandung dan Malang. Ironis, soalnya Jakarta menyandang status ibukota. Beda sekali dengan negara Asean lain, yang menjadi ikon wisatanya adalah ibukota negara, baru menyebar ke lokasi lain, seperti Kuala Lumpur itu tadi, atau Bangkok dan Manila.
Btw, bagi anda yang ketiban tugas menemani famili dari kampung untuk keliling ibukota, terimalah dengan ikhlas. Mereka juga berhak menikmati aura metropolitan. Justru anda akan terhibur juga karena sering objek yang biasa anda lewati sehari-hari dan hanya terlihat dari luar, begitu masuk ke dalam, ternyata sudah ada perubahan, seperti Ancol yang semakin keren.