Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money

Dinamika BPD: Menciut, Tetap, atau Berkembang?

31 Juli 2015   11:03 Diperbarui: 11 Agustus 2015   21:12 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Nama formalnya Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat. Nama komersialnya Bank Jabar. Setelah Banten memisahkan diri menjadi provinsi yang terpisah, namun BPD-nya masih menyatu, maka nama komersialnya berubah lagi menjadi Bank BJB. Memang secara bahasa mungkin ada yang gak pas, karena kalau dipanjangkan nama tersebut menjadi "Bank Bank Jawa barat dan Banten". Bank-nya jadi tertulis dua kali. Tapi sebagai "brand" Bank BJB memang tidak untuk dibaca versi panjang. Beda dengan nama klub bola seperti Persija sering ditulis sebagai Persija Jakarta, padahal unsur "ja" di Persija sudah berarti Jakarta juga.

Ada banyak BPD yang terpaksa merubah namanya untuk mengakomodir adanya provinsi baru hasil pemekaran. Bank Riau menjadi Bank Riau Kepri, karena lahirnya Provinsi Kepulauan Riau. Bank Sumsel menjadi Bank Sumsel Babel karena ada Provinsi Bangka Belitung. Ada lagi Bank Sulselbar untuk Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Bank Maluku menjadi Bank Maluku Malut karena menampung juga Provinsi Maluku Utara. Yang lebih "gaul" adalah Bank Sulut yang berganti nama menjadi Bank Sulut-GO, untuk mengakomodir adanya Provinsi Gorontalo. Bank Papua dan Kaltim, belum merubah nama meski telah melahirkan Provinsi Papua Barat dan Kalimantan Utara.

Nyaris tak ada lagi BPD yang terang-terangan mencantumkan tulisan BPD. Semuanya memakai nama singkatan dari provinsinya. Bank Sumut, Bank Kalbar, dan sebagainya. Kecuali kalau nama provinsi sudah singkat seperti Aceh dan Bali, tidak disingkat lagi. Bali  masih setia mencantumkan nama sebagai "Bank BPD Bali", sama dengan Yogyakarta yang mencantumkan "Bank BPD DIY". Khusus Bali, tidak mungkin menyebutkan diri sebagai "Bank Bali" mengingat pernah ada bank sawsta yang memakai nama itu. Bank DKI menjadi nama komersial dari BPD DKI Jakarta. Nama Jakartanya hilang dari logo bank, tapi masyarakat umumnya tahu bahwa DKI itu artinya ya Jakarta. Yang aneh sendiri adalah BPD Sumbar yang menamakan dirinya "Bank Nagari". Nagari adalah satuan masyarakat adat Minangkabau, di bawah level kecamatan. Kalau tidak salah, di seluruh Sumbar ada 648 nagari.

Bank Nagari pulalah yang mempelopori membuka kantor di luar provinsi asalnya, dengan membuka cabang di Jakarta, dan kemudian di Pekanbaru, Riau, untuk menyasar para perantau Minang. Namun, sekarang yang paling agresif membuka cabang hampir di semua kota besar di Indonesia adalah Bank BJB, dan segera diikuti Bank DKI. Sekarang hampir semua BPD sudah punya kantor di Jakarta, termasuk Bank Papua. Hal ini wajar, mengingat di Jakarta terdapat perantau dari semua provinsi.

Sampai saat ini, baru Bank BJB dan Bank Jatim yang sudah go public, sehingga di samping pemerintah daerah level provinsi dan kabupaten/kota, masyarakat ada juga yang mempunyai saham bank tersebut. Dari sisi aset, Bank BJB adalah yang terbesar di antara semua BPD yakni dengan aset sekitar Rp 89 trilyun pada posisi akhir Juni 2015.

Semua BPD tergabung dalam wadah Asbanda (Asosiasi Bank Pembangunan Daerah se Indonesia), sehingga banyak program antar BPD yang bisa disinergikan, termasuk undian tabungan yang bersifat nasional. Oh ya, kalau semua BPD disatukan sebagai sebuah bank, sebetulnya asetnya per akhir Desember 2014 sudah menyentuh Rp 446 trilyun, dan merupakan peringkat 4 setelah Mandiri, BRI dan BCA, atau unggul dibanding BNI.

BPD terkenal sebagai "kasir" Pemda, sehingga punya dana berbiaya murah dari captive market-nya tersebut. Dengan demikian BPD bisa memberikan kredit kepada para pegawai, baik pegawai pemda, maupun pegawai lain, dengan bunga lebih rendah. Justru karena terlena dengan kredit pegawai yang bersifat konsumtif tersebut, BPD tergolong ketinggalan dalam menyalurkan kredit yang bersifat produktif.

Kalau melihat kemauan OJK untuk mengurangi jumlah bank yang sampai sekarang masih di atas 100 bank,  maka isu penyatuan BPD pantas untuk digulirkan. Dari raja-raja kecil akan menjadi raksasa. Tapi sepertinya BPD dari luar Jawa akan lebih happy bila tetap berdiri sendiri. Bahkan, sejumlah provinsi yang dimekarkan, mulai mengambil ancang-ancang untuk mendirikan BPD baru. Tentu sangat tidak enak kalau tadinya punya jabatan Direktur Utama meski di BPD pelosok menjadi sekadar Pemimpin Wilayah. Lagi pula kalau semua dinasionalisir maka posisi kunci biasanya diisi pejabat ibukota atau dari kota lain di Pulau Jawa. Padahal BPD adalah kebanggaan daerah, makanya harus diisi oleh putra daerah.

Begitulah sedikit sharing tentang dinamika bank-bank milik pemda. Kita tunggu saja apakah jumlahnya menciut jadi 1 bank, tetap 26 bank atau bertambah jadi 34 bank sesuai jumlah provinsi yang saat ini ada.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun