Bahwa pemerintah bertekat menggunakan anggaran secara lebih efisien, terkait kondisi penerimaan negara yang masih jauh dari target, tentu sudah banyak yang tahu, khususnya yang rutin menyimak berita perekonomian. Ada beberapa pos pengeluaran yang harus lebih dihemat, termasuk biaya iklan.Â
Barangkali karena itulah, paling tidak sebatas yang saya amati, jumlah iklan para pejabat yang "mejeng" di televisi mengucapkan, "Selamat Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Batin" sambil tersenyum dan mengatupkan kedua tangannya di depan dada, jauh berkurang dibanding saat Lebaran-Lebaran sebelumnya.
Demikian pula iklan Selamat Lebaran di media cetak nasional yang biasanya memasang foto kepala daerah dan wakilnya, sekarang juga tidak lagi kelihatan. Namun diduga masih ada di koran lokal, sebagai bagian dari pencitraan.
Yang lumayan sering nongol di TV adalah Ahmad Heryawan, Gubernur Jabar, dan Rano Karno, Gubernur Banten. Tapi itu bagian dari iklan Selamat Lebaran versi Bank BJB, dan tentu biaya iklannya menjadi beban BJB, bukan beban pemerintah.
Asal tahu saja, iklan setengah halaman di koran nasional tarifnya sudah di atas Rp 100 juta. Untuk iklan di televisi dengan durasi 15 sampai 30 detik di sore dan malam hari, bisa belasan juta rupiah hanya untuk sekali tayang.
Di luar konteks lebaran, sebelum ada pengetatan anggaran, saya relatif sering mendapatkan iklan pemerintah, termasuk pemerintah daerah, di media cetak atau media elektronik. Iklan tersebut dibungkus dalam paket berita atau liputan khusus, sehingga bisa saja pembaca menganggap sebagai berita biasa. Kalau di televisi seperti dibungkus dalam talkshow atau berita eksklusif dengan membeli jam tayang selama 30 menit. Iklan yang "menyamar" seperti berita ini disebut advertorial.
Isi iklan tersebut sebetulnya lebih banyak memaparkan prestasi dari suatu departemen atau prestasi pembangunan di daerah selama dipimpin oleh seorang kepala daerah. Ada kutipan wawancara dengan menteri atau kepala daerah. Ada pula testimoni dari masyarakat yang puas dengan pelayanan suatu instansi atau puas menikmati hasil pembangunan. Tak lupa foto sang pejabat menggunting pita atau yang sejenis, sehingga lebih mirip buku harian sang pejabat.
Melihat mahalnya biaya iklan, jelas bahwa hal tersebut terasa mubazir. Ingat, pemerintah bukan lembaga bisnis yang beriklan sebagai pancingan untuk menaikkan omzet. Itupun bagi sebuah perusahaan ada kalkulasinya untuk mengukur efektivitas iklan. Jadi bagi pemerintah, memasang iklan betul-betul seratus persen sebagai biaya. Keuntungan yang diraih hanya semata-mata citra positif.
Lagi pula memang sudah tugasnya sebuah departemen atau pemda untuk melaksanakan hal-hal yang diiklankan. Maksudnya bukan sesuatu yang luar biasa. Bila masyarakat ingin info tentang hal tersebut, cukup diwadahi dari website departemen atau pemda saja, asal rajin diperbaharui datanya.
Fenomena pemerintah gencar beriklan tersebut sebetulnya hanya marak di era reformasi, sejak suara rakyat menjadi faktor penentu kelangsungan jabatan seseorang. Sering beriklan identik dengan meraih popularitas.
Saya jadi teringat waktu saya kecil. Ibu saya membagi tugas harian bagi tujuh anaknya termasuk saya. Saya kebagian menyapu halaman dengan sapu lidi setiap pagi. Saya memang agak malas, dan lebih suka membaca koran pagi.