Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cepat Menua Sebelum Jadi Kaya

25 Mei 2016   12:17 Diperbarui: 25 Mei 2016   12:20 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya kutipkan satu alinea utuh dari berita Kompas tanggal 24 Mei 2016 di bawah judul "Kelola Populasi Lansia" sebagai berikut: "Populasi lansia di Indonesia naik seiring penurunan angka kelahiran dan peningkatan usia harapan hidup. Populasi di Asia Timur dan Pasifik, termasuk Indonesia, cepat menua sebelum jadi kaya. Lansia jadi kelompok dominan dalam kemiskinan".

Saya tertarik dengan kalimat "cepat menua sebelum jadi kaya". Saya merasa tersindir. Mungkin juga banyak teman-teman saya yang usianya beberapa tahun di atas saya dan telah memasuki masa pensiun, kalau mereka membaca, akan tersindir juga.

Soalnya teman-teman itu, ada yang bekerja lagi di tempat lain untuk mendapatkan uang. Artinya uang pensiunan bulanan yang diterimanya tidak mampu menutupi kebutuhannya. Ada yang masih punya tanggungjawab terhadap anak yang masih di bangku SMA atau lagi kuliah. Kelompok begini dulunya termasuk telat menikah dan telat punya anak. Kemudian, di ujung masa baktinya masih tergolong karyawan level menengah ke bawah, sehingga uang pensiun bulanannya juga relatif kecil.

Namun banyak pula senior saya yang aktif bekerja di saat pensiun, sama sekali niat utamanya bukan mencari uang. Mereka butuh wadah untuk mengasah pikiran, untuk bersosialisasi, dan sekaligus juga butuh bergerak secara fisik. Hal ini pada gilirannya bisa memelihara kesehatan dan memperlambat datangnya kepikunan. 

Saya sendiri masih tergolong plin plan. Di satu sisi saya ingin bekerja (lagi) saat pensiun datang, untuk olah pikir, olah rasa, dan olah raga itu tadi. Tapi di sisi lain saya ingin "menikmati hidup". Menurut saya akan rugi orang yang tak bisa menimkati hidup, karena di saat muda, meski punya kesempatan dan punya tenaga, tapi tak punya uang. Saat sukses di puncak karirnya, meski punya uang dan punya tenaga, tapi tak punya waktu karena sangat sibuk. Tragisnya saat lansia pun, meski punya waktu dan punya uang (dari simpanan saat sukses), tapi sudah tak punya tenaga. 

Ada juga anekdot begini: saat tidak punya uang, pengen makan enak tidak mampu membelinya, namun saat sudah mampu membelinya makan enak sudah dilarang dokter karena berbahaya untuk kesehatan. Alhasil memang tidak gampang menikmati hidup. 

Di samping itu, ada banyak orang yang bukan berstatus karyawan yang bekerja sepanjang usianya. Inilah saudara-saudara kita di kelompok marjinal. Mereka bisa pedagang kecil, petani gurem, sopir angkutan umum, pemulung, penarik becak, pengojek, dan sebagainya. Jika saja nasib berpihak kepada mereka dengan keberhasilan anak-anaknya di bangku pendidikan, lalu si anak mendapat pekerjaan yang baik, maka orang tua bisa pensiun dengan mendapat bantuan keuangan dari anak-anaknya. 

Tapi bila anak-anaknya hanya bisa mencari uang untuk kebutuhan dirinya sendiri beserta anak istrinya, maka jadilah si orang tua bekerja selama hidupnya. Itupun berlaku bila kondisi fisik masih memungkinkan. Inilah yang kadang-kadang membuat kita miris bila membaca berita ada seorang kakek atau nenek yang hidup seorang diri di sebuah rumah kecil yang didapati telah meninggal setelah seorang anaknya datang melihat, atau setelah tetanga tidak tahan dengan bau busuk dari tempat tinggal si kakek-nenek.

Jadi, menurut saya yang paling penting adalah faktor kesehatan, terlepas apakah seseorang masih ingin atau terpaksa bekerja saat pensiun, maupun bagi yang ingin menikmati hidup dengan melakukan hal-hal yang disenanginya. Di samping itu tatanan sosial kita yang menghargai dan merawat orang tua harus tetap dipelihara. Perhatian terhadap tetangga, termasuk yang lansia, perlu pula dipertahankan, atau dihidupkan kembali bila terasa telah hilang khususnya di  masyarakat perkotaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun