[caption caption="Sumber: smashinghub.com"][/caption]Anggapan saya, orang yang puas pasti bahagia. Kalau ia tidak puas, tentu tidak bahagia. Tapi saya harus merevisi anggapan tersebut setelah membaca sebuah artikel di Kompas 5 Maret yang lalu.
Dituliskan bahwa seorang yang ingin berhasil dalam karir harus tidak pernah puas. Justru kebahagiaannya terletak pada tidak atau belum tercapainya keinginannya dalam menghasilkan sesuatu terkait dengan pekerjaannya. Ketika satu keinginan tercapai, ia hanya puas satu menit untuk kemudian kembali tidak puas karena merancang keinginan baru.
Tadinya rumus bahagia saya amat sederhana. Jika apa yang dipunyai seseorang telah cukup memenuhi keinginan, otomatis muncul rasa bahagia. Seorang yang sudah punya 5 rumah besar dan 10 mobil mewah, tapi keinginannya adalah punya 10 rumah dan 20 mobil, maka ia masih miskin dan tidak bahagia. Tapi seorang yang merasa cukup dengan satu rumah kecil plus satu mobil butut, maka ia merasa kaya dan bahagia. Sehingga rumus menjadi bahagia adalah gampang saja, penuhi keinginan yang banyak atau tidak perlu punya keinginan yang banyak.
Tapi paparan di atas sangat berbau materialistis. Dalam membina karir di sebuah instansi atau di sebuah perusahaan, ceritanya jadi lain. Katakanlah ada dua orang pegawai, Ali dan Badu. Kalau Ali puas dengan jabatan yang sedang-sedang saja, terjebak di zona nyaman, merasa semuanya oke, datang dan pulang tepat waktu, maka boleh jadi Ali seorang yang bahagia secara pribadi. Tapi bosnya Ali pasti tidak bahagia dan merasa rugi punya bawahan kayak begitu.
Sebaliknya Badu adalah seorang yang ambisius. Targetnya jadi direktur. Ia kerja dengan gigih, termasuk di jam lembur dan di hari libur. Setiap rapat dengan petinggi, ia bersuara dengan berbagai ide. Kalo bos-bos lagi golf, ia ikut juga. Istrinya juga kebagian tugas mendekatkan diri ke istri petinggi. Perusahaan sangat hepi dengan tipe Badu. Agar bekal Badu kian matang, oleh direksi ia dimutasikan ke sebuah cabang di kota kabupaten. Badu betul-betul merasa dicampakkan dan menjadi frustasi. Padahal manajemen bermaksud memperkaya kompetensi Badu, sebelum dipromosikan.
Intinya, meski karyawan bahagia, perusahaan bisa jadi menderita atau sebaliknya perusahannya bahagia, giliran karyawannya yang merasa diperkuda. Agar dua-duanya bahagia maka karyawannya perlu "kerja ikhlas" dan "kerja cerdas", bukan sekadar kerja keras. Kerja ikhlas baru tercipta karena seseorang punya nilai religius yang tinggi dalam arti bekerja sebagai ibadah atau bisa juga karena seseorang sangat mencintai pekerjaannya.Â
Memang meski tidak banyak, tetap ada saja orang yang sangat menikmati saat bekerja, bahkan seperti hobby. Orang yang workaholic atau gila kerja, bisa termasuk pada kelompok ini. Tapi tak urung istri dan anak seorang workaholic menjadi menderita. Bagi orang seperti itu, pekerjaan ibarat istri yang nomor satu. Sedangkan yang di rumah adalah istri nomor dua.
Kemudian kalau kerja cerdas  tentu membutuhkan tingkat intelektualitas dan kompetensi yang tinggi. Ini juga sedikit jumlahnya secara statistik. Tapi yang tipe beginilah yang karirnya moncreng. Ia tidak harus memforsir diri di kantor. Pekerjaan bisa didelegasikannya kepada banyak staf dan dikontrolnya dari berbagai lokasi dengan menggunakan teknologi canggih. Ia bisa beredar di mana-mana, rapat di kantor, blusukan di pasar, di forum seminar sebagai panelis, diwawancara wartawan, masuk teve, minum kopi sama anggota dewan, mengurus asosiasi profesi, jadi pengurus yayasan sosial, bahkan masih sempat-sempatnya menulis buku, meski mungkin pakai ghost writer.
Mayoritas karyawan, masih masuk kelompok orang yang bekerja karena mengharap imbalan. Jelas kelompok begini lebih suka santai-santai di kantor, baca koran, nonton tv, ngobrolin gosip artis, meng-update status di media sosial, dan hari yang ditunggu-tunggu adalah tanggal gajian. Kapan bekerjanya? Menunggu disposisi dari atasan saja. Inilah kelompok yang berbahagia karena gampang puas dalam bekerja, tapi tanpa sadar membawa perusahaan ke jurang kehancuran karena gagal mengantisipasi perubahan. Jelaslah bahwa bahagianya mereka hanya bersifat sementara. Begitu perusahaan bangkrut mereka menjadi prioritas terkena PHK, dan bahagianya langsung sirna.
Tapi kalau seseorang selalu tidak puas, mengembangkan produk atau jasa baru, menyempurnakan teknik produksi, mengembangkan strategi pemasaran, dan semuanya dilakukan dengan senyum mengembang, bukan dengan menggerutu, maka itulah yang disebut "bahagia dalam ketidakpuasan". Dan ini adalah bahagia yang lebih tahan lama. Orang begini laku di mana-mana, dan ia bahagia karena selalu bekerja, bukan karena bonus tinggi, bukan pula karena kekuasaan besar.
"Tidak puas tapi bahagia."Â Saya baru sadar ternyata itu nyata dan saya harus merevisi konsep bahagia saya di awal tulisan ini.