Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Banyak Jalan Menuju Jakarta

14 Juli 2016   16:24 Diperbarui: 14 Juli 2016   16:54 1
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tulisan di Kompas hari ini tentang usaha Handi, seorang pendatang baru di Jakarta yang berasal dari sebuah desa di Sukabumi, adalah tipikal gambaran dari perjuangan banyak orang yang ingin memperbaiki kualitas kehidupannya dengan mengadu nasib di ibukota. Handi diajak saudaranya untuk membantu membuat cilok, makanan khas Jawa Barat yang berbahan dasar tepung. Handi berharap bertahan lama tinggal di Jakarta. "Namun lihat-lihat juga keadaan nanti. Kalau ternyata tidak betah, mungkin kembali ke kampung saja", kata Handi.

Jadi Handi bisa dikatakan menerapkan metode trial and error di awal karirnya di ibukota. Coba-coba berdagang cilok, kalau gagal mungkin akan mencoba profesi lain. Gagal lagi akan pulang kampung saja. Yang harus dihindarkan adalah kalau yang dicoba-coba merupakan hal yang melanggar hukum, berbuat kriminal, misalnya. Atau yang pelanggarannya lebih "soft" contohnya berdagang di lokasi terlarang, menjadi juru parkir liar, menjadi manusia kardus atau manusia gerobak. 

Saya teringat saat saya masih SMP tahun1970-an di Payakumbuh, Sumbar. Saat itu, Ayah saya pernah mencoba merantau ke Jakarta, diajak adiknya yang sudah sukses sebagai perajin sepatu dan sandal, hal yang juga dilakukan ayah saya di Payakumbuh, sebagai keahlian yang diwariskan oleh orangtua beliau, alias kakek saya. Mungkin di saat itu omzet di kios sepatu ayah saya telah berada di titik terendahnya.

Kalau saja ayah saya sukses, saya telah membayangkan betapa kerennya pindah sekolah ke ibukota, menjadi anak Jakarta. Tapi suratan takdir berkata lain. Ayah hanya tahan sekitar 1 bulan saja di Jakarta, dan tiba-tiba nongol lagi di Payakumbuh. Pupuslah impian saya menjadi anak Jakarta. Akhirnya saya baru pertama kali menginjakkan kaki di ibukota saat sudah hampir menamatkan S1 di Padang, dan berikutnya malah sejak pertengahan tahun 1986 saya menetap dan menjadi warga ibukota sampai sekarang.

Saya sama sekali tidak menerapkan metode trial and error saat masuk Jakarta, karena status saya saat itu sudah pekerja kantor pusat sebuah perusahaan milik negara.Tapi tetap saja waktu saya mengurus KTP DKI harus menitipkam sejumlah uang sebesar ongkos transpor Jakarta-Padang. Mungkin maksudnya kalau nanti ada apa-apa, pemda memulangkan saya ke kampung dengan ongkos tersebut.

Memang ada banyak jalur menjadi warga Jakarta. Di samping contoh di atas, masih ada lagi jalur pendidikan, dalam arti melanjutkan pendidikan sarjana atau pasca sarjana di ibukota. Bisa pula dari jalur perkawinan. Para perantau di ibukota yang mudik lebaran lalu dapat jodoh di kampung sendiri. Jodohnya ini ikut diboyong ke Jakarta. Meski ada pula suami yang menginginkan sang istri tetap di kampung.

Ada juga yang masuk Jakarta dari jalur politik atau bersinggungan dengan politik, karena terpilih menjadi anggota DPR, DPD, menteri, atau berbagai lembaga non departemen. Contohnya, almarhum Husni Kamil Manik yang orang daerah, namun berhasil meraih kursi ketua Komisi Pemilihan Umum. Ada banyak komisi lainnya yang menjadi peluang bagi orang daerah yang ingin berkibar di panggung nasional. Bahkan Gubernur DKI saat ini dan wakilnya masuk Jakarta dari jalur politik ini. 

Beberapa wirausahawan sukses merambah Jakarta setelah sebelumnya merintis usaha di daerah asal. Ada usaha waralaba yang dimulai di daerah dan kemudian baru menyasar ibukota seperti Kebab Baba Rafi dan Apotik K 24. 

Grup lawak legendaris Srimulat lahir dan sukses di Solo, lalu hijrah ke Surabaya dan terakhir berkembang sampai mati suri di Jakarta. Ada banyak artis yang memenangi ajang pencarian bakat yang berasal dari daerah dan akhirnya eksis di ibukota. Judika sebagai contoh. Demikian pula olahragawan. Bambang Pamungkas yang menjadi ikon Persija adalah anak Semarang.

Ya, mirip dengan pepatah "Tak satu jalan ke Roma", maka ternyata "Banyak jalan menuju Jakarta". Jalan yang mau ditutup oleh pemda adalah jalur trial and error. Tapi justru jalur ini pula yang paling banyak "jalan tikus"-nya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun