Predikat Indonesia sebagai negara agraris, merupakan sesuatu yang telah melekat sejak zaman dahulu kala. Justru, karena hasil bumi yang melimpah, tanah nusantara selama 3 abad lebih dijajah oleh Belanda.
Memang, sekarang pun negara kita masih disebut sebagai negara agraris, karena memiliki lahan pertanian yang luas, dan sumber daya alam beraneka ragam juga berlimpah.
Dalam lagunya "Kolam Susu", grup musik Koes Plus pun menyebutnya sebagai tanah surga, karena bisa menumbuhkan tongkat kayu dan batu jadi tanaman.Â
Tapi, kalau kita kaji lebih kritis, kita bisa skeptis dengan jargon Indonesia sebagai negara agraris. Soalnya, profesi petani bukan lagi jadi kebanggaan.
Jutaan anak muda dari seluruh pelosok negeri sengaja berburu pekerjaan di perkotaan, karena merasa menjadi petani tak memberikan harapan untuk masa depannya.
Ironisnya, kondisi tersebut menggugah nafsu kapitalis para pemilik modal atas izin penguasa negeri, untuk menguasai lahan pertanian dan mengkonversikannya untuk berbagai jenis usaha.
Untunglah, di antara jutaan anak muda yang emoh bertani, muncul sosok yang tidak mau menyerah dan ingin mengembangkan sektor pertanian di desanya.Â
Hal itulah yang dilakoni oleh Slamet, pria kelahiran desa Penanggungan, Trawas, Mojokerto, Jatim, 2 Oktober 1970.Â
Aktivis Lingkungan Hidup tersebut pada akhir Mei 2024, mendapatkan Penghargaan Nominator Kalpataru 2024 tingkat nasional dalam kategori perintis lingkungan.
Kisah seorang Slamet yang sangat setia pada tani organik, memang sudah sepantasnya mendapatkan penghargaan.