Teman saya, sebut saja namanya Bandi, punya jabatan yang mentereng. Ia seorang direktur di sebuah bank kelas menengah yang beroperasi secara nasional.
Tapi, jika Anda belum pernah bertemu langsung dengan Bandi, padahal Bandi lagi berada di depan mata Anda, saya yakin Anda tak akan mengira Bandi seorang direktur bank.
Penampilannya terlalu biasa, bahkan dibandingkan dengan anak buahnya di kantor, Bandi kalah gagah. Badannya kurus, seperti orang kurang makan.
Kenyataannya, Bandi memang kurang makan. Tentu, bukan karena kurang uang, karena gajinya besar. Namun, karena katanya perutnya tak bisa menghabiskan satu porsi orang biasa.
Jadi, kalau Bandi makan, ia akan mengambil porsi kecil. Kalau porsinya telah diatur, ia akan membagikan separuh untuk orang lain terlebih dahulu.
Naik ojek dengan ransel di punggung jadi hal biasa dilakukan Bandi jika bepergian dalam kondisi jalanan macet parah. Mobilnya lebih sering nongkrong di garasi rumahnya.
Ia nyaman saja makan nasi goreng atau mie ayam yang dijajakan pakai gerobak dorong. Begitupun minum es doger yang dijual di pinggir jalan.
Ada kejadian lucu ketika ibu Bandi meninggal dunia di kampung halaman Bandi (sebuah kota kabupaten di jalur Pantura, Jateng).
Beberapa pekerja di kantor cabang bank setempat, termasuk kepala cabangnya mendapat informasi tentang ibu dari seorang direktur banknya meninggal di kota tersebut.
Mereka datang ke rumah duka dan bilang kepada beberapa kerabat Bandi, bahwa nanti akan ada direktur dari Jakarta yang datang.