Kalau saya ingat lebaran jadul, yakni saat saya masih kecil di dekade 1970-an, ada 2 permainan yang identik dengan anak-anak saat lebaran, yakni main petasan dan kembang api.
Gema suara takbir pada malam takbiran bisa kalah dengan bunyi petasan yang saling bersahutan di beberapa sudut tempat anak-anak berkumpul.
Ketika saya masih anak-anak, saya juga ikut menyulut petasan, meskipun dengan perasaan yang agak takut. Saya takut kalau langsung meledak ketika saya belum sempat menjauh.
Jadi, begitu ujung sumbu petasan saya bakar dengan korek api, secepatnya saya lari agak jauh dari petasan. Begitu petasan meletus, ada kegembiraan tersendiri dan saya bersorak.
Demikian pula main kembang api, ada kegembiraan ketika saya melihat bunga api di beberapa titik dari satu tangkai kembang api yang saya beli.
Permainan kembang api tidak semenakutkan main petasan. Tapi, dua-duanya tetap perlu kehati-hatian dalam memainkannya.
Uang salam tempel lebaran yang saya terima Om, Tante, dan kerabat lainnya, sebagian saya habiskan membeli petasan dan kembang api.Â
Sebagian lagi saya habiskan untuk membeli makanan seperti makan bakso dan sate. Sisanya baru masuk celengan.
Belakangan, setelah saya masuk SMP, saya menyadari permainan petasan tersebut tidak ada manfaatnya. Malah, bisa berbahaya karena ada anak yang terbakar atau terluka tangannya.Â
Perlu diketahui, menurut fatwa ulama, bermain petasan tersebut hukumnya haram. Tapi, menghilangkan budaya main petasan ini memang tidak gampang.