Asmara subuh, istilah ini begitu akrab di telinga para remaja di kota Padang dan berbagai kota di Sumbar pada dekade 1970-an dan 1980-an.
Apakah sampai sekarang tradisi yang sebetulnya banyak dikecam para pemuka masyarakat karena bersifat negatif itu masih ada?
Ternyata, bila ditelusuri pada pemberitaan di sejumlah media daring, meskipun tidak seramai era jadul, tradisi asmara subuh masih saja dilakukan sebagian remaja.
Bahkan, sebetulnya tradisi tersebut bukan khas remaja Sumbar, tapi berlaku di berbagai daerah di Indonesia.Â
Hanya karena masa remaja saya berlangsung di Sumbar, hal inilah yang terlintas di benak saya untuk menuliskan apa tradisi unik selama Ramadan.
Ya, ketika puluhan tahun lalu, tentu asmara subuh seolah-olah mendapat alasan sekadar alat pembenaran oleh para pelakunya.
Pertama, remaja jadul belum mengenal gadget seperti remaja zaman now. Tentu, kumpul-kumpul sesama remaja dilakukan secara tatap muka, bukan pakai video call gaya anak masa kini.
Kedua, selama bulan puasa, setelah makan sahur para remaja ingin menghirup udara segar sekalian melaksanakan salat subuh di masjid.Â
Di luar bulan puasa, tak begitu banyak anak muda yang bisa konsisten melakukan ibadah salat subuh berjamaah di masjid atau musala.
Ketiga, nah, di sini masalahnya, yang sebenarnya sulit untuk dibenarkan. Setelah salat subuh, mereka bukannya mengaji, mendengar ceramah agama, atau langsung pulang ke rumah.