Kisah seorang bocah yang memesan ponsel secara cash on delivery (cod) yang di akun medsosnya tertulis berharga Rp 5,800 K, bisa jadi pelajaran yang berharga bagi penjual secara online.
Si Bocah menafsirkan bahwa angka tersebut Rp 58.000. Maka ketika si pengantar barang datang, ia pun memberikan uang Rp 58.000.
Tentu, akhirnya transaksi yang diawali kesalahpahaman soal harga tersebut terpaksa dibatalkan. Soalnya, harga asli dari ponsel tersebut sebesar Rp 5,8 juta.
Hikmahnya, betapa seoarang penjual harus menuliskan deskripsi barang dengan transparan, termasuk dalam penulisan harga. Jangan sampai ditafsirkan secara keliru oleh calon pembeli.
Memang, menggunkan simbol K untuk menyingkat angka ribuan semakin lazim, namun ini bukan cara yang resmi.
Sekiranya rencana pemerintah untuk melaksanakan redenominasi rupiah betul-betul terwujud, katakanlah dengan membuat uang baru senilai Rp 1 untuk pengganti Rp 1.000 uang lama, tentu ceritanya jadi lain.
Dengan redenominasi rupiah, tak perlu lagi para pedagang mencantumkan K untuk menghemat penulisan angka seperti kasus di atas.
Selain masalah penulisan K untuk pengganti angka ribuan, ada hal lain yang perlu diperhatikan para pedagang, yakni soal gimik harga.
Apalagi di bulan puasa seperti sekarang, di mana jika gimik bertujuan untuk mengelabui konsumen, bisa-bisa mengurangi nilai puasa karena sama saja dengan berdusta.
Kalimat promosi diskon besar-besaran harus dilakukan dengan jujur. Jangan sampai harga dinaikkan terlebih dahulu sebelum diberi diskon.