Candaan anak-anak tak bisa dianggap enteng atau tak bisa ditoleransi begitu saja. Jika candaan itu dilakukan berulang-ulang dan menyakiti hati orang lain, bisa berbahaya.
Hal itu sudah bisa disebut sebagai bullying atau perundungan, yakni perkataan atau tindakan yang membuat orang lain sakit hati dan tidak nyaman.
Sebetulnya, berbicara perundungan, sudah sejak jadul terjadi. Biasanya anak-anak yang secara fisik terlihat berbeda dari rata-rata anak lain, akan menjadi objek.
Misalnya, anak yang terlalu pendek, terlalu tinggi, terlalu kurus, terlalu gemuk, berkulit lebih gelap, atau punya kelainan di beberapa bagian tubuh, sering diolok-olok temannya.
Kesadaran orang tua jadul terhadap anaknya yang dirundung sudah terlihat bila mereka mengetahui anaknya enggan bergaul dengan teman-temannya.
Tapi, secara umum ketika itu topik perundungan belum mendapat perhatian besar dari masyarakat, antara lain karena candaan anak-anak dianggap hal yang lumrah.
Namun, di era maraknya media sosial sekarang ini, jelas kondisinya menjadi sangat berbeda.
Aksi perundungan yang brutal malah dijadikan konten dan kalau viral seolah-olah menjadi kebanggaan. Ironisnya, aksi tersebut cepat menular dan dilakukan dengan berbagai modus oleh kelompok lain.
Sepertinya, ada semacam kepuasan bagi mereka yang melakukan perundungan, tanpa peduli dampak tekanan batin yang dirasakan sangat berat oleh anak yang dirundung.
Untunglah, perhatian masyarakat secara umum untuk mencegah perundungan terlihat meningkat.