Ketika seseorang meraih sukses dalam kariernya, sudah menjadi konsekuensinya akan disorot oleh orang lain, terutama akan ditelusuri dari mana kesuksesan itu berasal.
Tanpa disadari, komentar orang lain biasanya menghubungkan dengan siapa "orang kuat" yang menjadi sosok di balik kesuksesan seseorang itu.
Artinya, mungkin sudah jadi "budaya" kita di Indonesia yang mengkaitkan kesuksesan seseorang dengan faktor KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).
Bisa jadi saat ini korupsi dan kolusi sudah berkurang, seiring dengan semakin gencarnya upaya penegakan hukum dari berbagai instansi yang berwenang.Â
Tapi, tetap masih ada yang beranggapan jika memberi "bingkisan" ke atasan, akan bisa mendongkrak karier. Bahasa kasarnya adalah menyogok atau menyuap.
Demikian pula soal nepotisme, banyak yang masih percaya bahwa hal ini berperan penting dalam menentukan karier seseorang.Â
Hubungan kekerabatan dengan "orang kuat", hubungan satu daerah asal, atau hubungan sesama alumni dari suatu sekolah atau kampus, disebut-sebut ikut jadi faktor penentu.
Kalaupun tak ada hubungannya dengan KKN, sorotan terhadap orang yang sukses bisa pula dikaitkan dengan kebiasaan "cari muka" atau karena penampilan fisik yang menarik.
Jadi, agak jarang yang mengkaitkan karier yang melejit dengan prestasi, kinerja, atau kompetensi seseorang yang bisa dilacak dari portofolionya.
Dan cara memandang yang salah itu itu boleh dikatakan masih terjadi di banyak bidang, baik di instansi pemerintah atau di perusahaan swasta.