Ketika saya masih sekolah di dekade 1970-an, uang kertas yang paling besar nilainya adalah yang bernominal Rp 10.000. Istilah populernya duit ceban.
Ceban dalam bahasa yang dipakai sehari-hari oleh saudara-saudara kita yang berdarah Tionghoa artinya angka 10.000.Â
Bayangkan, betapa senangnya hati saya ketika suatu kali saat mau ada acara darmawisata ke luar provinsi, saya diberi bekal oleh paman saya selembar uang Rp 10.000.
Harga sepiring soto di sekolah saya waktu itu Rp 50. Artinya, dengan uang Rp 10.000 saya bisa makan soto 200 kali. Sangat besar, bukan?
Sekarang, barangkali harga sepiring soto di kantin sekolah, paling tidak sudah Rp 10.000. Kalau soto di restoran tentu lebih mahal lagi.
Artinya, uang ceban jadul itu nilainya sekitar 200 kali uang ceban zaman sekarang. Demikian jauhnya penurunan nilai uang rupiah jika dibandingkan dengan kondisi 4 dekade yang lalu.
Jadi, jika sekarang semua orang punya uang ceban di dompetnya, itu sangat biasa. Uang ceban itu bukan dianggap uang besar, karena masih ada pecahan yang jauh lebih besar.
Namun, dulu, mereka yang di dompetnya punya uang ceban, itu sesuatu banget, lebih hebat dari orang sekarang yang punya uang pecahan Rp 100.000.
Soalnya, seperti perbandingan sederhana di atas, yakni Rp 10.000 dulu bisa membeli 200 piring soto, sementara Rp 100.000 sekarang hanya mampu membeli 10 piring soto ala kantin sekolah.
Padahal, uang Rp 100.000 sudah pecahan terbesar saat ini. Apakah sudah saatnya dikeluarkan pecahan yang jauh lebih besar, misalnya pecahan Rp 200.000 atau bahkan Rp 500.000?