Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Narsis di Bidang Prestasi Kerja, Jangan Sampai Overdosis

11 Agustus 2023   07:10 Diperbarui: 11 Agustus 2023   07:12 892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi prestasi kerja|dok. tipssukseskerja.wordpress.com, dimuat unair.ac.id

Media sosial membawa banyak sekali perubahan pada kehidupan kita sehari-hari. Salah satu di antara perubahan dimaksud adalah semakin menjangkitnya budaya narsis.

Padahal, sebelum maraknya media sosial, perilaku narsis hanya dilakukan oleh segelintir orang saja. 

Sekarang, orang yang di dunia nyata sebetulnya berkarakter pendiam, katakanlah seorang bertipe introvert, di media sosial ada yang rajin narsis.

Secara bebas, narsis bisa diartikan sebagai perilaku terlalu membangga-banggakan diri sendiri, terlalu percaya diri, atau terlalu mencintai diri sendiri.

Narsis selama ini sering dikaitkan dengan foto-foto selfie yang memperlihatkan penampilan individu dalam berbagai gaya dan aksi di media sosial.

Namun, foto selfie sebetulnya hanya salah satu contoh dari perilaku narsis dalam bermedia sosial.

Foto-foto yang bukan selfie pun, termasuk pula narasi atau tulisan, yang bisa ditafsirkan terlalu menonjolkan kehebatan diri sendiri, bisa dinilai sebagai narsis.

Kehebatan apa yang dimaksud? Bisa kecantikan atau ketampanan secara fisik, dan bisa pula soal pakaian, perhiasan, atau barang mewah yang dipakai.

Contoh lain, ada pula kemungkinan niat untuk narsis bagi orang yang terlalu sering memposting kegiatannya dalam beribadah, atau dalam berbagi dengan kelompok yang kurang berpunya.

Tapi, tulisan ini tidak akan meneruskan beberapa contoh narsis di atas. Yang akan diulas di sini adalah dugaan narsis yang dilakukan orang yang terlalu sering mengumbar prestasi kerjanya.

Kebetulan saja, saya menjadi anggota beberapa grup media sosial yang anggotanya adalah para pekerja di sebuah perusahaan yang tergolong besar.

Dengan berjalannya waktu, sebagian anggota di grup-grup tersebut sudah pensiun, sebagian lagi juga ada yang memilih bekerja di perusahaan lain.

Karena anggota grup sudah menyebar di berbagai perusahaan, tentu informasi yang diposting di grup media sosial tersebut semakin beragam.

Nah, sebut saja ada seorang anggota yang di ujung kariernya di perusahaan asal, beruntung mendapat kesempatan menduduki jabatan yang lebih tinggi di perusahaan lain yang sejenis.

Sejak itu, di tengah kesibukannya, ia semakin rajin memposting kegiatan yang bersifat seremonial yang diikutinya.

Jika ada event yang membuat dia berdekatan dengan seorang menteri, gubernur, bahkan pernah juga dengan wakil presiden, segara diposting ke grup media sosial.

Setiap ada berita di media massa yang memberitakan aktivitasnya atau prestasi perusahaan yang dipimpinnya, juga segera disebarkannya.

Apalagi, ketika ada acara penyerahan trofi dan penghargaan yang diraihnya. Foto dan narasi yang ditulisnya akan dibumbui dengan kalimat yang bernada pujian bagi diri sendiri.

Apa maksudnya demikian sering memposting prestasinya dalam bekerja? Tentu hanya si teman itu yang tahu.

Saya hanya menduga-duga, barangkali ia ingin teman-temannya tahu, bahwa tak sia-sia perusahaan yang baru ditempatinya mendapuknya sebagai pimpinan.

Awalnya, tanggapan dari anggota grup sangat positif terhadap postingan teman itu, dalam arti banyak yang memuji dan meberikan selamat pada si teman.

Lama kelamaan postingan itu tak lagi ramai mendapat tanggapan, meskipun masih ada sebagian anggota yang menanggapi sebagai basa-basi.

Namun, ketika postingan itu sudah terlalu sering, beberapa anggota saling japri, termasuk ke saya, bilang bahwa teman yang posting itu sudah overdosis dan terkesan narsis.

Saya sendiri berpendapat boleh-boleh saja seseorang membanggakan prestasinya. Tapi, akan lebih dahsyat kalau postingan itu dikirimkan oleh orang lain.

Artinya, biarkan orang lain yang mengatakan secara tulus kita hebat, bukan orang lain yang disewa sebagai influencer.

Celakanya, yang namanya jabatan pasti ada waktunya berakhir. Entah karena alasan apa, si teman ini dihentikan ketika baru memimpin selama separuh periode kepemimpinannya.

Maka, grup media sosial yang saya ikuti tersebut tak lagi ada postingan bernada narsis terkait prestasi kerja seseorang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun