Menarik mencermati apa yang ditulis di Harian Kompas (22/6/2023), bahwa perusahaan di masa sekarang membutuhkan seseorang di kelompok manajemen puncak yang mampu "dealing with politics".
Tentu, bukan berarti perusahaan membutuhkan seorang politisi untuk direkrut sebagai anggota direksi, tapi seorang eksekutif yang punya kemampuan memahami seluk beluk dunia politik.
Paling tidak, perusahaan berskala besar di Indonesia perlu ada semacam Chief Political Officer (CPO), karena informasi politik akan ikut menentukan keputusan bisnis yang akan diambilnya.
Selama ini, biasanya ada Chief Executive Officer (Direktur Utama), Chief Operational Officer (Direktur Operasional), Chief Financial Officer (Direktur Keuangan), dan Chief Marketing Officer (Direktur Pemasaran).
Semakin berkembang sebuah perusahaan, anggota direksi pun semakin banyak, bahkan ada BUMN besar yang punya 12 orang direktur.
Sesuai dengan kebutuhan, direktur yang membidangi bisnis bisa dimekarkan sesuai perkembangan atau perluasan bisnis yang dikelola.Â
Ada pula direktur yang khusus membidangi sumber daya manusia, teknologi informasi, manajemen risiko, dan sebagainya.
Sebetulnya, embrio dari CPO sudah ada sejak belasan tahun terakhir, yang paling tidak ditemui di bank-bank BUMN.Â
Dalam hal ini jabatan yang ada irisannya dengan masalah politik, dijabat oleh Direktur Hubungan Lembaga (DHL).
DHL ini, atau namanya bisa berbeda-beda, tugasnya antara lain membangun kerja sama dengan berbagai lembaga penting, baik lembaga pemerintahan maupun swasta.