Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Chief Political Officer Sudah Saatnya Ada di Perusahaan Besar

3 Juli 2023   10:16 Diperbarui: 4 Juli 2023   06:50 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menarik mencermati apa yang ditulis di Harian Kompas (22/6/2023), bahwa perusahaan di masa sekarang membutuhkan seseorang di kelompok manajemen puncak yang mampu "dealing with politics".

Tentu, bukan berarti perusahaan membutuhkan seorang politisi untuk direkrut sebagai anggota direksi, tapi seorang eksekutif yang punya kemampuan memahami seluk beluk dunia politik.

Paling tidak, perusahaan berskala besar di Indonesia perlu ada semacam Chief Political Officer (CPO), karena informasi politik akan ikut menentukan keputusan bisnis yang akan diambilnya.

Selama ini, biasanya ada Chief Executive Officer (Direktur Utama), Chief Operational Officer (Direktur Operasional), Chief Financial Officer (Direktur Keuangan), dan Chief Marketing Officer (Direktur Pemasaran).

Semakin berkembang sebuah perusahaan, anggota direksi pun semakin banyak, bahkan ada BUMN besar yang punya 12 orang direktur.

Sesuai dengan kebutuhan, direktur yang membidangi bisnis bisa dimekarkan sesuai perkembangan atau perluasan bisnis yang dikelola. 

Ada pula direktur yang khusus membidangi sumber daya manusia, teknologi informasi, manajemen risiko, dan sebagainya.

Sebetulnya, embrio dari CPO sudah ada sejak belasan tahun terakhir, yang paling tidak ditemui di bank-bank BUMN. 

Dalam hal ini jabatan yang ada irisannya dengan masalah politik, dijabat oleh Direktur Hubungan Lembaga (DHL).

DHL ini, atau namanya bisa berbeda-beda, tugasnya antara lain membangun kerja sama dengan berbagai lembaga penting, baik lembaga pemerintahan maupun swasta.

Tentu, kerja sama dengan berbagai lembaga itu, di mata perusahaan semuanya berorientasi bisnis. Misalnya, memberi pelayanan untuk memenuhi kebutuhan suatu lembaga.

Hitung-hitungannya dalam bekerja sama sangat jelas, bahwa kedua belah pihak (perusahaan dan lembaga yang dilayani) harus sama-sama terpenuhi kebutuhannya.

Pertanyaannya, di mana letak unsur "politik"-nya ketika DHL dan jajarannya melakukan lobi-lobi atau pendekatan dengan sebuah lembaga?

Memang, sebuah perusahaan tidak deal dengan partai politik. Tapi, seperti diketahui, di pemerintahan saat ini sebagian menteri ditunjuk karena wakil partai dalam satu koalisi.

Meskipun keputusan seorang menteri harus berorientasi pada rakyat banyak, bukan pada kepentingan parpol, namun ada baiknya mengetahui "warna" politiknya.

Dengan demikian, agar sebuah perusahaan bisa mulus bekerja dalam membangun suatu proyek di sebuah kementerian, pemahaman politik akan membantu.

Nah, jika sudah dirasa perlu secara resmi keberadaan CPO, bisa saja dipertegas dengan memberi predikat DHL sebagai CPO. Atau, DHL-nya dimekarkan menjadi 2 bidang, DHL itu sendiri dan CPO.

CPO bersifat fleksibel dalam bekerja, bahkan bisa saja terkesan ambigu karena tingkat toleransinya yang tinggi dengan kekuatan politik mana pun.

Dengan adanya CPO, "radar" perusahaan diharapkan mampu menangkap "sinyal" kekuatan politik yang diperkirakan akan memenangkan pemilu.

Namun demikian, perusahaan jangan terperangkap untuk terang-terangan menjadi pendukung parpol atau capres tertentu.

CPO akan membuat perusahaan dekat dengan semua parpol, tapi sekaligus juga menjaga jarak agar tidak lengket.

Sekali lagi, penting untuk diketahui, perusahaan tidak akan terlibat dalam politik praktis. Tapi, ilmu politik sangat penting untuk bisa menganalisis dampak keputusan politik dari lembaga yang terkait.

Sebagai contoh, dampak sebuah keputusan yang diambil pemerintah bersama parlemen, sangat mungkin berdampak bagi bisnis perusahaan.

Maka, kalau bisa, pihak manajemen perusahaan sudah punya skenario, seandainya capres atau parpol tertentu yang menang, apa kebijakan pemerintah yang baru nantinya.

Kebijakan itu perlu diantisipasi, hal apa saja yang akan menjadi peluang bagi perusahaan. 

Jika ada yang diperkirakan akan mengurangi bisnis perusahaan, juga bisa dicarikan langkah alternatifnya.

Mungkin saja tulisan ini belum tepat dalam memaparkan fungsi CPO. Tapi, pesan yang ingin disampaikan adalah agar masyarakat tidak kaget bila nanti jabatan CPO betul-betul ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun