Tentu, kerja sama dengan berbagai lembaga itu, di mata perusahaan semuanya berorientasi bisnis. Misalnya, memberi pelayanan untuk memenuhi kebutuhan suatu lembaga.
Hitung-hitungannya dalam bekerja sama sangat jelas, bahwa kedua belah pihak (perusahaan dan lembaga yang dilayani) harus sama-sama terpenuhi kebutuhannya.
Pertanyaannya, di mana letak unsur "politik"-nya ketika DHL dan jajarannya melakukan lobi-lobi atau pendekatan dengan sebuah lembaga?
Memang, sebuah perusahaan tidak deal dengan partai politik. Tapi, seperti diketahui, di pemerintahan saat ini sebagian menteri ditunjuk karena wakil partai dalam satu koalisi.
Meskipun keputusan seorang menteri harus berorientasi pada rakyat banyak, bukan pada kepentingan parpol, namun ada baiknya mengetahui "warna" politiknya.
Dengan demikian, agar sebuah perusahaan bisa mulus bekerja dalam membangun suatu proyek di sebuah kementerian, pemahaman politik akan membantu.
Nah, jika sudah dirasa perlu secara resmi keberadaan CPO, bisa saja dipertegas dengan memberi predikat DHL sebagai CPO. Atau, DHL-nya dimekarkan menjadi 2 bidang, DHL itu sendiri dan CPO.
CPO bersifat fleksibel dalam bekerja, bahkan bisa saja terkesan ambigu karena tingkat toleransinya yang tinggi dengan kekuatan politik mana pun.
Dengan adanya CPO, "radar" perusahaan diharapkan mampu menangkap "sinyal" kekuatan politik yang diperkirakan akan memenangkan pemilu.
Namun demikian, perusahaan jangan terperangkap untuk terang-terangan menjadi pendukung parpol atau capres tertentu.
CPO akan membuat perusahaan dekat dengan semua parpol, tapi sekaligus juga menjaga jarak agar tidak lengket.