Satu-satunya penulis bergelar "maestro" di Kompasiana, Tjiptadinata Effendi, baru saja berulang tahun ke-80. Usia yang tidak lagi muda, tapi fisik beliau sangat sehat seperti anak muda.
Karena saya terbiasa memanggil beliau dengan Pak Tjipta (dan Bu Lina untuk istri tercinta beliau), maka di tulisan ini pun saya tetap menggunakan panggilan tersebut.
Sungguh suatu kebahagiaan bagi saya, baru sekitar 3 menit saya menyampaikan berminat atas buku terbaru karya Pak Tjipta, buku dalam format e-book langsung terkirim ke gawai saya.
Buku tersebut berjudul "Saya Keturunan Tionghoa Tapi Orang Indonesia". Judulnya sudah "menggigit", tersirat beliau bangga sebagai orang Indonesia.
Jadi, jangan pertentangkan nenek moyang seseorang. Toh, seperti juga saudara-saudara kita keturunan Jawa, Sunda, Batak, Aceh, Papua, dan sebagainya, sudah menyatu sebagai orang Indonesia.
Ternyata judul buku di atas diambil dari salah satu judul tulisan beliau. Memang, buku itu berisikan kumpulan tulisan yang pernah tayang di Kompasiana.
Karena saya rutin membaca tulisan-tulisan Pak Tjipta dan Bu Lina, sebagian besar tulisan tersebut sudah pernah saya baca.
Tapi, membaca ulang tulisan beliau terasa lebih mantap. Apalagi, tulisan-tulisan Pak Tjipta bersifat evergreen, tetap relevan untuk dibaca kapan pun.
Setiap judul memang terlepas, dalam arti seolah-olah tak ada kaitan antara satu judul dengan judul yang lain.
Namun, kalau dicermati, semua tulisan tersebut ada benang merahnya, yakni betapa Pak Tjipta dan Bu Lina telah menerapkan cara ideal dalam berinteraksi dengan sesama manusia.