Tradisi mudik di negara kita sudah berlangsung sejak dahulu kala. Hal ini berkaitan dengan tradisi merantau yang sangat kuat pada beberapa suku atau etnis.
Orang Minang, Batak, Jawa, Madura, Bugis (sekadar menyebut beberapa contoh saja), terkenal dengan budaya merantaunya.
Dalam perkembangannya kemudian, boleh dikatakan di negara kita terjadi arus urbanisasi yang demikian pesat.
Akibatnya, jumlah penduduk di kota besar bertambah tidak hanya dari kelahiran bayi, tapi terutama karena banyaknya pendatang dari daerah yang mencari nafkah.
Meskipun demikian, para perantau tidak kehilangan kontak dengan tanah kelahirannya. Paling tidak, setiap lebaran banyak di antara perantau yang merayakannya di kampung halaman.
Nah, arus yang ramai dari tanah perantauan ke daerah asal, itulah yang disebut dengan mudik. Orang Minang menyebutnya dengan "pulang basamo".
Dalam istilah yang sering ditulis media massa, ada arus mudik saat menjelang lebaran, dan arus balik beberapa hari setelah lebaran.
Untuk bisa mudik, tentu masing-masing pemudik mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, terutama untuk ongkos transportasi.
Belum lagi oleh-oleh yang akan dibagikan kepada sanak saudara di kampung, juga tak ketinggalan bagi-bagi angpao di hari lebaran.
Nah, ada cara yang lebih hemat, sekaligus juga lebih aman dan nyaman dalam perjalanan mudik. Oleh karena itu, peminatnya sangat banyak.