Ada sebuah kisah yang dulu pernah saya baca, meskipun saya tidak ingat lagi sumber asli kisah yang menurut saya sangat inspiratif itu.
Dengan bahasa bebas yang saya tulis ulang versi saya sendiri, kisah tersebut kurang lebih seperti di bawah ini.
Tersebutlah seorang pedagang selimut dan peralatan tidur lainnya yang berdagang di sebuah pasar. Sebut saja nama pedagang itu Sidik, biar memudahkan penceritaannya.
Suatu hari, saat Sidik melayani beberapa orang pelanggan, tiba-tiba datang seorang yang bertubuh renta dan berwajah kumal.
Pelanggan lain kelihatannya agak terganggu dengan bau tubuh pak tua tersebut, makanya mereka menjaga jarak agar tak terlalu dekat dengan pengunjung yang baru datang itu.
Tapi, tidak demikian dengan Sidik. Meskipun gampang diduga bahwa pak tua itu tidak punya uang cukup, Sidik melayani dengan ramah, seperti halnya perlakuan Sidik kepada pelanggan yang lain.
Pak tua itu langsung mengeluarkan uangnya yang memang sedikit dan bertanya apakah ada selimut yang seharga dengan uangnya itu.
Sebetulnya, dengan jumlah uang yang diberikan pak tua tersebut, harga selimut termurah pun belum bisa tertutupi.
Namun, tanpa ragu Sidik justru memberikan selimut termahal yang ada di tokonya kepada pak tua.Â
Dengan wajah yang terlihat gembira, pak tua pun membawa selimut bagus. Terbayang oleh pak tua, nanti malam istri dan anaknya tak akan kedinginan tidur di gubuk sederhana di pinggir kota.
Setelah pak tua itu pergi, sekarang giliran beberapa pelanggannya yang mengajukan protes kepada Sidik.
Mereka serempak meminta Sidik juga memberikan harga murah untuk mendapatkan selimut bermutu paling bagus yang memang diincar mereka dari tadi.
Dengan tenang Sidik berkata bahwa dengan pak tua tadi ia bukan berdagang dengan manusia, tapi berdagang dengan Allah.
Sedangkan dengan pelanggan-pelanggannya yang sedang memprotes itu, Sidik menyebut berdagang dengan manusia.
Akhirnya, para pelanggannya sadar bahwa Sidik sebetulnya memberi pak tua tanpa terkesan menghina.
Justru para pelanggan itu sendiri yang menghina pak tua dengan gerakannya yang menjauh, takut dengan bau tak nyaman dari tubuh pak tua.
Nah, mari kita garis bawahi hikmah kisah di atas, bahwa betapa indahnya memberi tanpa menghina. Harga diri orang yang diberi perlu dijaga.
Itu menjadi salah satu bukti ketulusan dalam memberi, tulus hanya berharap ridha Allah. Bukan ingin dipuji sebagai seorang yang dermawan.
Di lain pihak, seiring dengan maraknya hampir semua orang memposting di akun media sosialnya, tak sedikit yang tanpa sadar melakukan pamer saat memberi bantuan pada orang lain.
Bahkan, ada yang dengan sadar melakukan selfie setiap melakuan pemberian kepada warga yang kurang mampu.
Memberi sambil pamer tersebut berpotensi membuat pihak yang diberi merasa tidak nyaman, kalau tidak mau memakai isitilah merasa terhina.
Sekarang, dalam suasana bulan suci Ramadan, merupakan momen yang banyak digunakan untuk menyalurkan zakat, infak, dan sedekah.
Maka, tulisan ini sekadar mengingatkan diri penulis sendiri dan semua pembaca untuk menjaga sikap dalam memberikan bantuan.
Sikap yang ideal adalah memberi setulus hati tanpa merendahkan pihak yang diberi bantuan dan tanpa pamer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H