Contohnya adalah Akri Patrio, yang dulu tergabung dalam grup lawak Patrio bersama Eko dan Parto.
Demikian pula pelawak Ginanjar dari grup lawak Empat Sekawan. Grup ini sudah lama vakum, dan Ginanjar memilih jalannya sendiri sebagai penceramah agama.
Apakah para pelawak yang hijrah alias banting setir itu tidak takut penghasilannya turun?
Ya, untuk seorang pelawak atau grup lawak, ketika dalam puncak popularitasnya, tarifnya tergolong mahal.Â
Belum lagi jika si pelawak mendapat job lain, seperti menjadi bintang iklan untuk produk tertentu yang dipromosikan di layar kaca.
Tapi, masa kejayaan pelawak relatif tidak lama. Selalu ada pasang surutnya, dan langka sekali yang bisa bertahan sampai tua.
Di lain pihak, seorang pendakwah tentu tak boleh bermotif untuk mencari uang. Bahwa dapat uang boleh-boleh saja, tapi itu bukan motif utama.
Memang, ada saja isu tentang tarif seorang penceramah mulai dari yang rendah di kelas antar kampung hingga yang tertinggi yang sudah kelas nasional.
Tapi, isu tersebut agak susah dibuktikan, karena  biasanya hal ini tak pernah terpublikasikan.
Penceramah yang sering tampil di televisi, diperkirakan punya "tarif" yang sudah ada standarisasinya. Soalnya, stasiun televisi akan mendapat keuntungan dari sponsor pada acara tersebut.
Jangan mengira acara pengajian sepi dari sponsor, apalagi di bulan puasa seperti sekarang ini, yang merupakan masa "panen" para penceramah di layar kaca.