Perkembangan pesantren di tanah air dalam belasan tahun terakhir terlihat cukup pesat. Pesantren tidak lagi jadi pilihan bagi anak-anak desa dari kelas bawah saja.
Sekarang, di kota pun warga kelas menengah banyak yang sengaja mengirim anaknya menuntut ilmu di pesantren.
Alasannya, dengan mendidik anak di pesantren akan mendapat dua ilmu sekaligus, ilmu pengetahuan umum sebagaimana di sekolah biasa dan ilmu agama.
Satu hal lagi, dengan sistem tinggal di asrama, banyak orang tua yang berharap anaknya bisa jadi orang yang mandiri,
Sayangnya, selain banyak pesantren yang berhasil meluluskan alumni yang pintar dan berakhlak mulia, ada pula pesantren yang justru dicemari oleh kasus yang berkonotasi negatif.
Beberapa kali kita membaca di media massa tentang terjadinya pelecehan seksual di pesantren.
CNN Indonesia (10/1/2023) menuliskan adanya tiga kasus dugaan pelecehan seksual terhadap anak, di lingkungan pesantren Provinsi Lampung dalam beberapa waktu terakhir ini.
Salah satu modusnya, santriwati diiming-imingi mendapat berkah jika bersetubuh dengan pelaku yang juga pimpinan di pondok pesantren tersebut.
Berita di atas hanya sebagai contoh. Jika kita mencari informasi di media daring dengan mengetikkan "pelecehan seksual di pesantren", akan muncul banyak berita lainnya.
Ada yang terjadi di Depok (Jawa Barat), Lumajang (Jawa Timur), dan yang cukup menghebohkan terjadi di Pondok Pesantren Shiddiqiyah, Ploso, Jombang, Jawa Timur.
Nah, sekarang selain pelecehan seksuai, terjadi pula kejadian yang sangat mengagetkan, yakni pembakaran santri.