Jujur saja, saya tadinya tidak tahu apa yang dimaksud dengan migran risen. Tapi gara-gara tulisan di Kompas.id (19/1/2023) dan saya cari dari sumber lain, sekarang saya jadi tahu.
Bagi yang belum tahu, ini saya beri tahu. Migran risen adalah penduduk yang provinsi tempat tinggalnya pada saat lima tahun yang lalu, berbeda dengan tempat tinggalnya sekarang (saat pencacahan).
Kompas.id menulis tentang fenomena migran risen Jakarta yang secara neto justru menunjukkan angka negatif.
Artinya, penduduk asal provinsi lain yang pindah ke DKI Jakarta lebih kecil dari penduduk DKI Jakarta yang memilih hengkang ke provinsi lain.
Data tahun 2021 mengungkapkan bahwa sebanyak 354.446 penduduk pindah ke Jakarta, namun ada 866.424 penduduk yang pergi dari Jakarta.
Dari data di atas, bisa dihutung bahwa Jakarta mengalami migran neto negatif sebanyak 511.978. Ini angka terbesar dari semua provinsi di tanah air.
Lalu, berdasarkan analisis Kompas.id, faktor Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) Jakarta yang masih di bawah IKLH nasional, disebut sebagai penyebabnya.
Kemacetan lalu lintas, polusi yang parah, sering terjadi banjir, dan kerawanan sosial yang meningkat, membuat sebagian warga Jakarta hengkang.Â
Nah, poin inilah yang ingin saya tanggapi berdasarkan pengamatan sekilas yang tentu saja bersifat subjektif.
Saya punya beberapa teman yang mengaku dengan sangat terpaksa hijrah memboyong keluarganya, dari Jakarta ke kawasan pinggiran yang sudah beda provinsi.Â
Rata-rata mereka sekarang menjadi penduduk Tangerang (Provinsi Banten) atau Bogor, Depok, dan Bekasi (Provinsi Jawa Barat).
Mereka awalnya tinggal bersama orang tua di Jakarta. Kemudian mereka menikah dan belum mampu membeli rumah di Jakarta.
Tapi, dengan mengambil kredit di bank, mereka masih mampu untuk mengambil rumah di Banten atau Jawa Barat.
Ada juga yang pindah setelah kedua orang tuanya meninggal, lalu jual rumah warisan orang tua, agar masing-masing ahli waris mampu membeli rumah di luar ibu kota.
Saya juga punya beberapa keponakan yang sehabis menamatkan SMA di Sumbar, kuliah di Jakarta, dan tinggal bersama saya.
Kemudian, beberapa keponakan tersebut akhirnya bekerja di Jakarta dan juga menemukan jodoh di Jakarta.
Setelah berkeluarga, ada keponakan yang tinggal di Depok, ada yang tinggal di Tangerang Selatan, dan ada yang di Cilegon.
Nah, dari cerita teman-teman saya dan juga para keponakan, semuanya sebetulnya ingin tinggal di Jakarta, namun dengan kondisi ekonominya, "terpaksa" pindah provinsi.
Saya tak hendak membantah IKLH Jakarta yang buruk. Tapi hengkangnya warga Jakarta sebagian bukan karena faktor IKLH, tapi faktor ekonomi.
Bahwa sebagian lagi karena tidak betah, sangat bisa dipahami. Itu juga dialami teman-teman saya yang lain.
Teman kantor saya yang berasal dari Yogyakarta, Malang, Surabaya, Semarang, dan kota lain di Jawa, banyak yang setelah pensiun di Jakarta, pindah lagi ke kota asal.
Tapi, seperti saya sendiri, teman dari berbagai provinsi di Sumatera, cenderung tetap tinggal di Jakarta meskipun sudah pensiun.
Apakah bisa diartikan kehidupan di kota-kota di Pulau Jawa lebih nyaman ketimbang di Sumatera, perlu diteliti lebih lanjut.
Satu hal pantas untuk dicatat, bahwa daya tarik Jakarta bagi pendatang baru yang ingin mengadu nasib, tidak lagi sehebat dulu.
Kedatangan perantau baru sehabis lebaran, tidak seheboh belasan atau puluhan tahun lalu.
Kota-kota yang kuat industrialisasinya menjadi pesaing Jakarta, seperti Batam, Karawang, Surabaya, Balikpapan, dan Makassar.Â
Demikian pula sentra pariwisata seperti Bali dan Lombok, setelah pandemi berlalu, menjadi magnet bagi para perantau.
Dengan demikian, justru ada baiknya bagi Jakarta. Jika arus urbanisasi ke Jakarta masih seperti dulu, akan lebih buruk dampaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H