Jika kita ingin mengenal secara lebih lengkap rupa-rupa korupsi, paling tidak ada 5 jenis sebagai berikut.
Pertama, korupsi politik dalam bentuk penyuapan. Demi merebut atau mempertahankan kekuasaan, seorang politisi bisa saja menyuap lembaga yang berkaitan dengan pemilu.
Pada pemilu dengan sistem proporsional tertutup, politisi boleh jadi menyuap pimpinan partai agar ditempatkan pada nomor jadi (nomor kecil) pada daftar caleg di partai tersebut.
Dengan nomor kecil, tentu peluangnya untuk terpilih menjadi anggota legislatif menjadi lebih besar.
Kedua, korupsi politik melalui perdagangan pengaruh (trading of influence). Dalam hal ini, seorang pejabat atau seorang politisi menggunakan pengaruh politik atau pengaruh jabatannya.
Tujuannya untuk mengintervensi sebuah keputusan agar menguntungkan pihak tertentu, bukan untuk kepentingan rakyat banyak.
Ketiga, korupsi politik dengan melakukan jual beli suara. Bagi-bagi uang pada warga calon pemilih di pagi hari sebelum pencoblosan, atau lazim disebut serangan fajar, diduga sering terjadi.
Apalagi, dalam pemilu dengan sistem proporsional terbuka, di mana pemilih memilih nama seorang calon, akan rawan dengan serangan fajar.
Dengan sistem terbuka, meskipun seorang caleg dapat nomor urut buncit, tetap berpeluang jadi anggota legislatif jika banyak yang memilih.
Keempat, korupsi politik dalam bentuk nepotisme/patronage. Ini penyakit lama di negara kita yang sebetulnya dicoba dibasmi dengan tumbangnya Orde Baru.
Namun, hingga saat ini pun nepotisme diperkirakan masih banyak terjadi, yakni memberi keistimewaaan bagi keluarga atau kerabat dalam kekuasaan politik, baik eksekutif maupun legislatif.