Terlepas dari perkembangan radio yang menyedihkan di atas, saya terkenang dengan masa kejayaan radio puluhan tahun lalu.
Saya masih kecil, masih duduk di bangku SD pada awal 1970-an. Ketika itu, ayah saya punya "ritual" setiap selesai salat subuh.
Ritual dimaksud adalah mendengar radio transistor, sambil menikmati teh manis hangat buatan ibu.
Saya sering juga ikut nguping mendengar siaran radio, sehingga saya tahu apa berita yang disampaikan acara "Warta Berita" dari RRI Program Nasional.
Berita olahraga merupakan hal yang saya tunggu, terutama menyangkut hasil pertandingan sepak bola dan bulutangkis.
Setelah siaran berita akan berlanjut dengan acara "Kuliah Subuh" yang dibawakan oleh ulama terkenal saat itu, Buya Hamka.
Ayah memang pengagum berat Buya Hamka. Berbagai buku karya Buya Hamka dibeli dan dibaca ayah, dan saya juga ikut-ikutan membaca.
Tampak sekali kalau ceramah agama dari Buya Hamka itu menjadi acara favorit ayah. Saya pun ketularan terpikat, meskipun belum semua isi ceramah bisa saya cerna dengan baik.
Suara Buya Hamka sangat khas, yakni serak-serak basah. Gaya beliau bukan seperti orator dan bukan pula seperti penceramah yang suka melawak.
Kuliah Subuh banyak mengupas persoalan sehari-hari yang disajikan secara sejuk. Contohnya tentang adab bertetangga atau saling menghargai sesama manusia.
Penceramah kondang sekarang justru banyak bergaya lantang. Materinya berbau politis, sehingga materinya gampang dipelintir atau digoreng oleh pihak lain.