Jusuf Kalla (JK) meskipun tidak lagi memegang jabatan wakil presiden, ternyata masih cukup "bergigi". Bahkan, JK tetap berani menegur seorang menteri.
Tak tanggung-tanggung, yang ditegur JK adalah seorang menteri yang disegani, karena integritasnya yang tinggi dan terkenal karena kepakarannya di bidang ekonomi.
Ya, menteri dimaksud adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani. JK mengaku menegur Sri Mulyani melalui pembicaraan menggunakan telepon.
Pemicunya adalah pernyataan Sri Mulyani yang memastikan ekonomi global akan terjerembab ke jurang resesi pada tahun depan (cnnindonesia.com, 31/10/2022).
Resesi tersebut terutama disebabkan oleh faktor kenaikan suku bunga yang drastis dari sejumlah bank sentral di berbagai negara.
Kebijakan menaikkan suku bunga merupakan hal yang lazim untuk meredam lonjakan inflasi. Tapi, dampaknya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Sebetulnya, kalau seorang Sri Mulyani menyebutkan akan terjadi resesi, tentu dasar pemikirannya cukup kuat berdasarkan keahlian dan pengalamannya selama ini.
Sri Mulyani tidak hanya diakui secara nasional, tapi juga di level internasional. Beliau orang Indonesia pertama yang menjabat sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia.
Maka, terkait dengan pernyataannya tersebut, bisa dipastikan bahwa niat Sri Mulyani tentu baik, yakni memberikan peringatan agar kita semua bersiap-siap menghadapinya.
Hanya saja, meskipun apa yang dikatakan sudah benar, belum tentu hasilnya baik. Bukankah masyarakat kita sangat beragam dan bisa saja sebagian salah dalam menafsirkan.
Justru karena itu, JK berpendapat bahwa peringatan dari Sri Mulyani bisa ditafsirkan sebagai menakut-nakuti rakyat.
Selengkapnya, berkaitan dengan teguran kepada Sri Mulyani, JK mengatakan sebagai berikut (yang dicetak miring):
Krisis itu ada yang bermasalah, ada yang bikin manfaat. Karena itu saya bilang pada Sri Mulyani, jangan takut-takuti orang tahun depan akan kiamat.
Saya telepon jangan begitu. Jangan kasih takut semua orang. Ini negeri luas, tidak semuanya. Kalau ada masalah, hadapi. Kita jangan takut.
Krisis, ada krisis energi, di mana krisis energi dalam negeri? Di mana krisis pangan di Indonesia?
Beda kita dengan negara lain yang gak punya energi. Jadi kita harus optimis, kalau ada masalah, hadapi.
Apa tanggapan Sri Mulyani? Sayangnya, hingga tulisan ini diketik belum ada pemberitaan di media massa yang memuat tanggapan Sri Mulyani.
Tapi, harus diakui, secara umum resesi pasti jadi semacam musibah. Namun, ada saja sebagian masyarakat yang justru diuntungkan.
Sebagai contoh, kalau suku bunga naik tajam, tentu para penyimpan dana di bank, terutama dalam bentuk deposito, akan kecipratan untung yang besar.
Namun, perlu diakui kalau para peminjam uang di bank akan menangis, karena beban bunga yang harus dibayarnya jadi melonjak.
Kalau nilai rupiah anjlok terhadap mata uang asing terutama dolar AS, maka para petani yang produknya diekspor yang akan bergembira.
Soalnya, mereka akan menerima dolar AS sebagai hasil penjualan produknya, yang ketika dirupiahkan, akan mendapat rupiah yang bertumpuk.
Tapi, harus diakui kalau para pengusaha yang mengimpor barang akan berteriak lantang. Harga produk impor jadi lebih mahal ketika dinilai dalam rupiah.
Kesimpulannya, resesi memang sudah di depan mata. Tapi, cara pemerintah dalam melakukan sosialisasi terkait apa yang perlu dipersiapkan masyarakat, perlu dibenahi agar bernuansa optimis.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H