Jadi, di mata masyarakat kelas bawah, kompor listrik hanya lebih cocok bagi masyarakat kelas menengah ke atas.
Sementara itu, para pengamat, khususnya penggiat lingkungan hidup juga mengkritisi program kompor listrik tersebut, karena belum ramah lingkungan.Â
Maksudnya, meskipun listrik memang memanfaatkan sumber dari dalam negeri, tapi masalahnya masih bersumber dari energi fosil (batu bara).
Menurut pengamat, harusnya pemerintah membenahi dulu sektor hulunya, dengan meningkatkan penyediaan sumber Energi Baru Terbarukan (EBT)
Tapi, tampaknya pemerintah sudah kebelet, karena tak kuat lagi menanggung beban impor gas elpiji.Â
Di lain pihak harga jual elpiji 3 kilogram, karena masih disubsidi, sangat jauh di bawah nilai keekonomiannya, mengingat tingginya harga impor.
Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo mengatakan bahwa pemerintah bisa menghemat Rp 10,21 triliun per tahun, bila 15,3 juta konsumen elpiji 3 kilogram beralih menjadi pengguna kompor listrik.
Begitulah, kalau pemerintah lebih mementingkan soal ekonomi makro, dalam hal ini soal penghematan anggaran, bisa jadi dampak lainnya nantinya akan "memukul balik" pemerintah sendiri.
Yang dikhawatirkan, masyarakat kelas bawah menolak menggunanakan kompor listrik dan tetap membeli gas elpiji bersubsidi.
Tapi, jika gas 3 kilogram jadi langka di pasaran, lalu muncul antrean panjang, bukankah menjadi persoalan yang berpotensi memicu aksi demo massal, atau bahkan aksi anarkis?
Namun demikian, karena pemerintah sudah memutuskan untuk melaksanakan program konversi ke kompor listrik, dan tetap komit untuk mengembangkan sumber EBT, ya kita berharap semua komponen masyarakat bisa mendukung.