Harga tiket pesawat yang melambung tinggi, menjadi keluhan saudara-saudara saya yang baru saja melakukan penerbangan dari Padang ke Jakarta dan kembali lagi ke Padang.
Jika sebelum pandemi relatif gampang mencari tiket pesawat Padang-Jakarta seharga sekitar Rp 600.000 hingga Rp 700.000, sekarang sudah di atas Rp 1 juta sebagai tarif termurah.
Apalagi, bila memilih terbang dengan maskapai penerbangan Garuda Indonesia, harga tiketnya jauh di atas tarif termurah.
Alasan utama kenaikan harga tiket pesawat, karena mengikuti harga avtur sebagai bahan bakar pesawat yang naik drastis dalam setahun terakhir ini.
Memang, sejak meletusnya perang Rusia-Ukraina, sangat terasa imbasnya pada kenaikan harga bahan bakar dan energi. Tentu, imbas tersebut melanda negara kita juga.
Tapi, terlepas dari soal perang, musibah pandemi yang berkepanjangan selama 2,5 tahun terakhir ini, sangat memukul industri penerbangan secara global.
Tak heran, sejumlah maskapai penerbangan sudah gulung tikar. Sedangkan di Indonesia, kerugian besar yang dialami flag carrier Garuda Indonesia juga karena ada unsur salah kelola pada periode sebelumnya.
Jadi, ketika saat ini industri penerbangan mulai menggeliat, kebijakan maskapai penerbangan untuk menaikkan tarifnya, sepertinya sudah menjadi konsekuensinya.
Itupun tidak berarti maskapai penerbangan langsung untung. Seperti Garuda yang mengaku masih rugi, tapi dengan jumlah kerugian yang makin mengecil.
Lagipula, jika dicermati, persaingan antar maskapai penerbangan sudah tidak seketat dulu dengan tumbangnya sejumlah maskapai.
Saat ini, di Indonesia hanya tinggal Garuda Group (termasuk Citilink, Sriwijaya dan NAM Air) dan Lion Group (termasuk Batik Air, Wings, dan Super Air Jet).Â