Biasanya, seorang laki-laki punya hobi terhadap hal-hal yang berkaitan dengan otomotif. Kalaupun bukan hobi, paling tidak, punya perhatian dan tahu banyak tentang mobil dan motor.
Tapi, jujur saja, saya termasuk pengecualian, karena seluk beluk otomotif tidak banyak saya ketahui. Ya, kalau soal merek mobil yang termasuk kelas atas dan yang masuk kelas sejuta umat, tentu saya tahu.
Namun, jika ada teman yang berbicara lebih rinci tentang spesifikasi suatu mobil, saya biasanya mengiyakan saja, karena tidak bisa menanggapi lebih banyak.
Saya cenderung melihat mobil dari fungsinya saja, sebagai sarana mempermudah pergerakan dari suatu tempat ke tempat lain. Soal penampilan, gengsi, atau atribut lainnya, tidak terlalu saya pikirkan.
Karena saya cenderung berpikir dari sisi praktisnya saja, saya lebih suka membeli mobil bekas yang kondisinya masih bagus dan usia pakainya belum terlalu lama.
Alasannya, bukan saja terkait dengan budget yang tersedia relatif terbatas, tapi juga karena membeli mobil bekas bisa langsung dibawa begitu transaksi sudah dilaksanakan.
Sementara kalau membeli mobil baru, selain lebih mahal, rata-rata juga harus dipesan dulu dengan membayar uang panjar dan baru bisa diambil beberapa bulan kemudian.
Saya pernah membeli mobil bekas hasil penelusuran iklan baris di koran ibu kota yang memang terkenal (waktu itu) sebagai tempat efektif untuk jual beli kendaraan bekas.
Kemudian, saya juga pernah membeli dari showroom mobil bekas, yang biasanya sudah mendadani mobilnya terlebih dahulu, sehingga tampilannya lebih oke.
Sebagai bukti saya tidak begitu suka gonta ganti mobil, dalam kurun waktu 20 tahun, saya hanya pernah menggunakan 3 mobil bekas yang berbeda.