Seorang keponakan saya diterima di Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia. Tentu saja saya ikut berbahagia, karena persaingan untuk diterima di UI, setahu saya sangat ketat.
Sejak hari Minggu (31/7/2022) yang lalu, keponakan saya tersebut sudah berada di Jakarta. Inilah pertama kalinya ia merantau, berpisah dari orangtuanya yang tinggal di Payakumbuh, Sumbar.
Saya memberi perhatian yang cukup besar pada keponakan tersebut, lebih dibandingkan keponakan lain, bukan karena ia diterima di perguruan tinggi yang prestisius.
Namun, karena keponakan ini sejak usia SD sudah ditinggal oleh ayahnya yang nota bene adalah kakak saya sendiri. Ayahnya meninggal dunia karena sakit yang cukup lama.
Ayahnya mendapat penghasilan dari sebuah warung harian yang lumayan laris. Namun, warung tersebut terpaksa ditutup sejak sepeninggal ayahnya, karena tidak ada yang mengurus.
Ibunya seorang pegawai negeri biasa yang masuk dengan ijazah SMA. Tentu gajinya tidak besar seperti ASN yang sudah punya jabatan.
Dengan keterbatasan tersebut, si ibu berhasil membesarkan ketiga anaknya, termasuk si bungsu yang baru masuk UI di atas.Â
Dua anak lainnya, sarjana dari perguruan tinggi negeri di Padang. Keduanya juga baru memperoleh pekerjaan tapi dengan status belum pekerja tetap.
Padahal, kondisi si ibu ini juga punya penyakit yang cukup serius, membuat ia rutin kontrol ke rumah sakit, dan sempat beberapa kali dirawat inap.
Jadi, pertanyaan saya secara spontan kepada keponakan yang baru kuliah ini adalah berapa besarnya uang kuliah yang harus dibayarnya?
Alhamdulillah, dengan sistem uang kuliah tunggal (UKT), biaya yang dikenakan relatif masih terjangkau, yakni Rp 3 juta per semester.Â