"Hantu" inflasi ternyata bukan sekadar ancaman lagi, tapi sudah terjadi. Di negara kita, inflasi pada Juni 2022 lalu secara year-on-year (selama setahun terakhir, Juni 2021-Juni 2022), tercatat sebesar 4,35 persen.
Angka di atas merupakan rekor tertinggi sejak Juni 2017 lalu dan diperkirakan akan mengalami kenaikan lagi hingga akhir tahun ini.
Tapi, terlepas dari data statistik di atas, ibu-ibu rumah tangga sudah terlalu sering menjerit ketika berbelanja di pasar. Harga cabai, bawang, minyak goreng, telur, daging sapi, dan mungkin masih banyak lagi yang lainnya, naik cukup tajam.
Demikian pula harga gas elpiji non subsidi (ukuran 5 kilogram ke atas), dan harga bahan bakar minyak (BBM) non subsidi seperti Pertamax, juga lebih menguras kantong.
Namun, perlu diketahui, kondisi di Indonesia masih relatif baik jika dibandingan dengan beberapa negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Eropa.
Seperti dikutip dari voaindonesia.com (14/7/2022), inflasi AS dalam setahun terakhir naik menjadi 9,1 persen (sebelumnya 8,6 persen) dan merupakan angka tertinggi baru selama 41 tahun.
Kemudian, inflasi di zona Euro (Eropa) juga mencetak rekor baru dengan mencapai angka 8,6 persen year-on-year pada Juni 2022 (cnbcindonesia.com, 19/7/2022).Â
Situasi yang memburuk di AS dan Eropa tersebut, sudah merupakan alarm keras bagi negara-negara tersebut, karena ditafsirkan bahwa resesi makin dekat.
Nah, inflasi sangat erat kaitannya dengan suku bunga yang ditetapkan oleh bank sentral di masing-masing negara. Di Indonesia, fungsi bank sentral dijalankan oleh Bank Indonesia (BI).
Suku bunga secara teori akan mengikuti inflasi. Jika inflasi naik, suku bunga naik, agar dana masyarakat di perbankan atau yang tertanam pada instrumen keuangan seperti obligasi tidak tergerus nilainya.